Selasa, 30 Oktober 2007

Politik Bahasa Gerakan Mahasiswa di Bali (GM yang ke-[GR]-an)

Memahami gerakan mahasiswa (GM) memang rumit dan berliku-liku jalan ceritanya. Lingkup gerakannya melintasi ruang, waktu, dan mungkin bisa ditambahi dengan rejim dengan segala bumbu-bumbunya. Tulisan ini, mungkin bukanlah sebuah tulisan yang bisa memenuhi selera keintelektualan mahasiswa dan gerakannya, tapi mungkin lebih tepat menjadi ruang kosong yang kemudian diisi dalam waktu segera dengan kebanggaan, keharuan, kecaman, paradoks, mungkin juga kegedean rasa (GR).
Saya tak ingin membicarakan tentang kenangan masa lalu GM yang telah dikupas tuntas oleh kawan-kawan yang lain. Meski saya nyerempet-nyerempet sedikit mengenai masa lalu, tapi tidaklah sedalam yang telah berkecimpung lama sebagai aktivis mahasiswa ‘beneran’. Saya ingin mengajak pembaca untuk merenungi sejenak mengenai apa saja yang kita lakukan selama ini, sebagai manusia, mahasiswa, mungkin bisa ditambahkan seorang aktivis.
Terlampau penuh barangkali jika menuliskan kembali disertai dengan berbagai komentar atas peristiwa-peristiwa GM yang, boleh jadi hanya tercatat dalam memori masing-masing. Boleh jadi pula dengan makna dan kesan masing-masing. Dan soal pewarisan ingatan barangkali bisa dimasukkan sebagai perlawanan melawan pelupaan terhadap sejarah GM.

Gerakan intelektual
Saya ingin memulai pembahasaan GM dengan sebuah ‘dugaan’ sebagai gerakan intelektual. Ketika pertama menjejakkan kaki di universitas, terutama universitas negeri, hanya ada dua pilihan jawaban yang bisa kita jawab: kita masuk universitas dengan jalur seleksi atau berdasarkan keunggulan di bidang tertentu. Pilihan selain itu berarti ‘jalur khusus’ dan mudah-mudahan jalur itu hanya prasangka buruk yang memang tak pernah ada.
Yang pertama kita temui untuk waktu yang cukup untuk merekam ingatan kita setelah lepas SMU adalah sesama mahasiswa yang mengaku berstatus senior. Maka bertemulah status senior dan junior dalam sebuah tajuk yang berjudul orientasi. Orientasi seperti apa? Dahulu tetap ada yang namanya P4, penataran nilai-nilai Pancasila. Selain itu mungkin ada baris-berbaris, meski sedikit. Pengenalan kampus, yang dikenal dengan Program Pengenalan Kampus (PPS) juga seringkali dirangkai dengan kegiatan orientasi tambahan yang menjadi tradisi, juga dengan tajuk yang bertema sosial. Tapi kegiatan apa yang tetap dilaksanakan jika ada pertemuan pertama antara senior dan junior? Saya masih ingat ‘diminta dengan di bawah tekanan’ untuk membawa tas dari sarung tepung, minuman dengan tutup botol dari minuman merek lain, batu berdiameter tertentu, kaus kaki berbeda warna, ikat pinggang dari sumbu kompor, mencari tanda tangan senior yang begitu susah, dan sebagainya. Kita patuh. Jika kita melanggar dikenai dua pasal sekaligus dari dua pasal yang dikenakan. Pasal pertama, Senior tidak pernah salah. Pasal kedua, jika Senior salah, tinjau pasal pertama. Hukuman yang diterima oleh junior-junior bermacam-macam, mulai dari hukuman fisik seperti push up, hukuman mental seperti dibentak-bentak, serta hukuman-hukuman lainnya yang harus diterima junior-junior. Kini banyak senior yanng ‘sadar’, mengenali lingkungan baru, jenjang pendidikan yang baru, tidak mesti dengan ‘cita rasa khas senior’.
Selepas ‘bersua’ dengan para senior, barulah para junior itu diakui sebagai warga kampus yang bisa mengikuti acara-acara akademis, yaitu perkuliahan. Tahun berikutnya, secara naluriah, tentu ada beberapa junior yang telah terdidik secara alami atau dididik dengan lingkungan warga kampus yang lainnya akan menjadi senior yang secara tidak langsung adalah upaya untuk menutupi ‘luka hati’ masa lalu sebagai junior. Kejadian itu mungkin terjadi berulang-ulang. Dalam hati kecil saya ketika masih menjadi junior, jangan-jangan senior-senior saya ini indeks prestasinya tidak menggembirakan, mungkin diantara mereka ada yang harus mengulang beberapa mata kuliah, menjadi senior hanya untuk mencari daun muda diantara junior-juniornya, sehingga mereka menyalurkannya dengan kegiatan ini, agar didapatkan ‘kesetimbangan’. Mencari ruang-ruang yang masih kosong untuk ditempati alam pikirannya dan dapat dilakukan dengan tindakannya. Asumsi saya di atas ternyata ada pula yang benar.
Di bagian yang berbeda, para mahasiswa di berbagai daerah menyerukan reformasi, bahkan revolusi. Masyarakat yakin, dan percaya, inilah kekuatan positif yang ditunggu-tunggu untuk mengubah keadaan bangsa. Dan memang betul, tonggak reformasi memang dimulai, dengan mahasiswa sebagai gerakan intelektual gerakan moral, gerakan pro demokrasi, dan sebagainya. Ketika itu gerakan mahasiswa di era ’98, secara taktis dan strategis, gerakan mahasiswa ini menguasai gedung MPR/DPR RI, simbol kedaulatan rakyat. Singkat cerita, terjadilah suksesi kepemimpinan nasional.
Tonggak reformasi dengan kekuatan mahasiswa sebagai gerakan intelektualnya, hanya terjadi sekali itu saja, tetapi setiap penerimaan mahasiswa baru, apa yang disebut sebagai gerakan intelektual itu memang sedikit pencitraannya, lebih banyak kepada gerakan mahasiswa ala kehidupan barak militer. Ini terlihat dari budaya senior junior, tindakan imperatif yang nyata-nyata hampir tak masuk akal, lebih mengutamakan kekelompokan bukan pada inisiasi pengetahuan perguruan tinggi, mungkin juga teknik baris berbaris, penggojlokan fisik dan mental mahasiswa baru untuk dapat beradaptasi dengan lingkungan barunya. Inikah yang dinamakan bagian dari gerakan intelektual? Justru hal ini tidak tetap dengan pendiriannya sebagai gerakan intelektual.
Apa yang telah bisa dihasilkan oleh keintelektualan mahasiswa selama ini untuk kemajuan masyarakat secara luas? Sudah merasa cukupkah gerakan mahasiswa dengan aksi turun ke jalan atau berdiskusi selama sekian jam, atau berdebat? Lalu, bagaimana dengan, katakanlah pembelian gelar dimana gerakan mahasiswa sebagai gerakan intelektual hampir sama sekali tak melawan dengan kekuatan seperti menegakkan reformasi? Kata reformasi mungkin hanya berlaku untuk menumbangkan kekuasaan tetapi tetap membiarkan terjadinya jual beli gelar intelektual.

Gerakan moral
Apakah yang bisa dijelaskan dengan gerakan moral? Sebelum dijawab pertanyaan tadi ada baiknya melihat sebuah gerakan moral berasal dari gerakan mental. Gerakan mental yang luhur memiliki sikap hidup yang jelas: melawan ketidakadilan, mengutamakan toleransi, keharmonisan, tutur kata yang baik, menjaga kebersihan hati, kejujuran, mampu mengontrol diri, dan prinsip-prinsip adiluhung lainnya dalam hidup ini. Tidak ada perkecualian untuk gerakan moral tertentu boleh untuk melabrak bangunan mental sehingga bangunan moral pun runtuh. Tulisan ini mungkin terlalu ideal, munafik, memiliki absurditas tinggi, mungkin akan dikatakan mimpi kali ye…, tapi inilah yang memang yang menjadi prinsip gerakan moral dimanapun. Satu bagian saja dari gerakan moral yang tercoreng, bukanlah disebut gerakan moral. Dibutuhkan sikap keseluruhan, tidak setengah-setengah untuk mengikuti gerakan moral ini. Kini saya bertanya, apakah gerakan mahasiswa saat ini bisa dikatakan gerakan moral mengatasnamakan rakyat Indonesia yang selalu bersumpah yang isinya mirip-mirip Sumpah Pemuda? Sumpah Pemuda itu bertuah karena cukup diucapkan sekali, tetapi disertai dengan kekuatan untuk mengerjakannya untuk waktu yang lama. Tapi setiap pagelaran demonstrasi, hampir selalu dengan sumpah mahasiswa, sumpah rakyat, dan sumpah-sumpah lainnya, tapi, maaf, adakah kerangka kerja untuk sumpah itu di dalam hati dan pikiran kita? Sumpah itu penting dan perlu untuk memacu pergerakan menuju tujuan, tapi bagaimana bisa mencapai tujuan jika kita sebagai mahasiswa malam dianggap siang, siang dianggap malam, bangun baru kesiangan, terlambat kuliah, rebutan cewek, perkelahian antar fakultas, ribut-ribut kebijakan rektorat, buat tugas kuliah dengan cara mencontek? Memang tidak bisa dibuatkan anggapan secara umum, tapi beginilah keadaan sebagian mahasiswa kita. Saya memiliki keyakinan yang kuat jika keadaan ini tetap berlangsung, maka tak perlu lagi kita mengatakan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral, karena sikap kita tidak bisa menunjukkan moral yang luhur baik terhadap dirinya sendiri, apalagi lingkungannya. Lebih baik mengatakan gerakan moral kelompok mahasiswa dari organisasi A, organisasi B, dan sebagainya.
Awalnya saya merasa bangga menjadi mahasiswa mengenakan jas almamater lengkap seperti seragam resminya, tapi itu hanya awalnya saja. Saya tak terlalu bangga karena melihat hanya segelintir mahasiswa yang bisa saya sebut mahasiswa yang bertanggung jawab secara akademis kepada universitasnya, bertanggung jawab moral kepada orang tuanya, dan bertanggung jawab sosial kepada lingkungannya.
Lalu, jika ditanya apa tanggung jawab mahasiswa kepada rakyat dan bangsa ini? Jawabannya sederhana, mahasiswa lakukan dengan apa yang bisa dilakukannya sehingga bermanfaat untuk rakyat kebanyakan. Inilah terjemahan yang paling sederhana dari frase pemberdayaan masyarakat. Masyarakat memerlukan pendidikan, perlu kesehatan, perlu orang-orang pintar untuk membangun sarana fisik, perlu ‘ditemani’ oleh mahasiswa. Memang terlihat sangat tidak menguntungkan, tidak ada profit duit di dalamnya, karena yang ada hanya masyarakat yang ‘sakit’, masyarakat yang tergantung pada berbagai macam risiko, siapa yang mau terjun ke dalamnya? Jawabannya mungkin juga ada, tetapi sedikit. Justru inilah lahan yang sesungguhnya bagi kita untuk memerdekakan masyarakat yang remuk redam oleh ketidaksiapan dan ketertinggalan terhadap globalisasi.
Pesan moral manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang mulia inilah yang tidak bisa ditangkap oleh gerakan-gerakan besar mahasiswa yang lebih mengutamakan aksi turun ke jalan, orasi, baca puisi, nyanyi-nyanyi lagu pergerakan, seminar demokrasi, HAM, dan sebagainya. Jelas-jelas di depan mata ada ketidakmajuan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, dan perlunya pertemanan dengan masyarakat, tidak bisa kita melihat perbaikan langsung secara baik. Alangkah meruginya dengan waktu sekian ini membangun demokrasi, reformasi, ditambah kita tetap menyalahkan pemerintah, TNI, penegak hukum, dan negara-negara penganut kapitalisme. Mengapa bukan kita yang mengambil bagian dari penyelesaian krisis bangsa ini, bukan sebagai pahlawan reformasi, pahlawan mahasiswa, atau gelar kepahlawanan yang lainnya, bukan hanya bisa menyalahkan. Mengapa, sekali lagi, kita tetap menjadi bagian masyarakat yang tetap merugi?

Mengelola akhlak gerakan
Gerakan mahasiswa memiliki ruang lingkup gerakan aksi, pers mahasiswa, dan kelompok studi. Lingkup tersebut tidak ada yang mendominasi satu sama lain. Yang sering kali terjadi saat ini adalah perangkapan lingkup gerakan mahasiswa. Gerakan aksi sekaligus bisa menjadi kelompok studi. Gerakan pers mahasiswa sekaligus menjadi gerakan aksi. Memang tidak ada aturan hanya satu gerakan yang boleh dilakukan, karena posisi apapun kita tetap gerakan mahasiswa. Secara fisik memang demikian bentuk organisasi mahasiswa. Kemudian, bagaimana organisasi itu berjalan tanpa ‘jiwa’? Tentu tidak bisa. Harus ada ‘jiwa’ yang mengisi bentuk tubuh/organisasi sehingga mencirikan sesuatu.
Selama ini tema umum yang didengungkan gerakan mahasiswa adalah demokrasi dan pemerintahan yang baik dan bersih. Menanggapi kejadian dan fenomena yang berkembang selama ini baik di daerah maupun secara nasional, gerakan mahasiswa melakukan dengan ruang lingkupnya masing-masing. Gerakan aksi akan melakukan aksi demonstrasi (aksi turun ke jalan), gerakan pers mahasiswa akan mempublikasikan melalui berita yang dibuat, dan kelompok studi akan menyelenggarakan berbagai diskusi. Ada beberapa hal pokok yang biasa menjadi ‘konsumsi’ gerakan mahasiswa dalam melakukan kegiatannya: pernyataan sikap, pernyataan argumentatif, tuntutan, kecaman, hujatan, kritikan, seruan, ajakan kepada masyarakat atau suatu kelompok, sindiran, dan penyimpulan. Semua itu dilakukan untuk meneguhkan sikap mahasiswa bahwa hampir selalu beroposisi dengan pemerintahan yang sedang berkuasa atau dulu meninggalkan ‘luka’ yang dalam. Tak mengherankan juga seringkali menyandingkan rakyat dan mahasiswa sebagai sebuah kekuatan yang menginginkan suatu tujuan, tentu kepada pemerintah yang berkuasa. “Vox populi, vox dei”, demikianlah yang sering disebut, suara rakyat adalah suara Tuhan. Tidak semua masyarakat mengerti dengan dua frase ini. Mereka mungkin lebih mengerti soal kantor, hasil penjualan di toko atau pasar, alamat tempat pengantaran barang kiriman, masyarakat yang menggunakan industri jasa, dan kesejahteraan keluarganya ketimbang harus berorasi dengan pekik-pekik tertentu di perempatan jalan, bernyanyi lagu ‘perjuangan’ gubahan kalangan mahasiswa sendiri, atau berpuisi dengan segala retorika disertai gaya melankolia. Ada bagian dari gerakan mahasiswa ini yang tidak nyambung dengan keinginan masyarakat. Mungkin bukan nilai-nilai hak asasi manusia, mungkin juga bukan demokrasi, mungkin juga bukan tuntutan kesejahteraan rakyat seluruh Indonesia sekarang juga, penegakan hukum sekarang juga, dan segala hal yang bersifat sekarang juga, tetapi yang jelas adalah nilai akhlak dari aksi gerakan mahasiswa tersebut. Apakah itu akhlak gerakan mahasiswa?
Akhlak adalah segala niat, pikiran, ucapan, tingkah laku, dan segenap yang dihasilkan berupa teladan yang dapat diteladani semua orang. Meskipun dengan niat yang baik untuk ‘menggugah kesadaran’ pemimpin bangsa, tetapi dengan pikiran, ucapan, dan tindakan yang dapat merugikan orang lain baik dengan hujatan, sindiran, kecaman, sama saja dengan mencoreng gerakan itu sendiri. Apalagi jika disertai ketidakjujuran dalam pengungkapan sebuah fakta, mencari-cari pembenaran, melebih-lebihkan sesuatu, atau menutupi sesuatu, atau tindakan merugikan kepentingan orang lain, semua itu juga akan menambah buruk citra gerakan mahasiswa. Bukankah ketidakadilan hanya bisa dilawan dengan keadilan, kalau kita menganggap lawan gerakan mahasiswa adalah kelompok yang berbuat ketidakadilan?
Mengapa ‘ketidakadilan’ harus dilawan dengan teriak-teriak di perempatan jalan, menghujat seseorang/kelompok yang belum tentu bersalah, dengan cara mengganggu lalu lintas, memfitnah dalam tulisan? Oh, Kawan, kita berteriak-teriak tentang ketidakadilan, reformasi, dan demokrasi, tapi kita tidak memperbaiki diri kita dan lingkungan. Telah berulang kali saya mencoba untuk meyakinkan bahwa gerakan mahasiswa harus dimulai di setiap ruang kuliah, di ruang baca perpustakaan, di laboratorium, karena kita mahasiswa. Kita harus menghargai pilihan kita menjadi mahasiswa dan keluarga yang membiayai kuliah kita. Kita tidak boleh mengecewakan diri kita dan keluarga dalam menuntut ilmu di perguruan tinggi. Tetapi jika melihat ketidakadilan, tidak bisa didiamkan, tetapi juga tidak serta merta menjadi anarkis, penuh dengan emosi atau rasa permusuhan.
Masyarakat akan menilai gerakan mahasiswa itu menguntungkan buat masyarakat atau merugikan. Jika menguntungkan, masyarakat, yang biasa kita sebut rakyat, pasti akan mendukung setiap gerakan mahasiswa, karena bisa membawa teladan ke lingkungan masyarakat terkecil, keluarga. Tetapi jika lebih banyak merugikan atau tidak membawa perubahan yang lebih baik, maka benar kata Soe Hok Gie, gerakan mahasiswa seperti sendiri dalam sepi di tengah bergemuruhnya globalisasi. Akhirnya individu-individu yang ada dalam gerakan mahasiswa satu per satu mulai ‘pensiun’, lelah dengan segala macam aksi gerakannya. Mereka memilih untuk menjalani, memenuhi kehidupannya sendiri. Ada yang bertahan, akan menjadi ‘dedengkot tua’, sekaligus ‘penyambung lidah’ sejarah gerakan mahasiswa yang heroik, katanya. Yang bertahan inilah yang biasa disebut dikhianati oleh ruang dan waktu, karena teramat vulgar mengatakan ditinggal oleh kawan-kawan seideologinya. Ada pula yang mencari ruang lain sebagai tempat mengembangkan diri, kilah banyak aktivis mahasiswa. Gerakan mahasiswa datang di saat diperlukan, tapi kemudian ditinggalkan sepi sendiri menunggui ruang kuliah yang sudah berisi adik kelas yang mengejar indeks prestasi kumulatif yang tinggi, cepat lulus, cepat kerja, dan mungkin cepat berkeluarga.
Politik bahasa gerakan mahasiswa
Kurang lengkap rasanya jika belum membahas politik bahasa yang digunakan gerakan mahasiswa, khususnya di Bali. Bahasa-bahasa yang digunakan dalam gerakan mahasiswa tidak sekadar komunikasi antar organisasi kemahasiswaan, atau dengan pihak rektorat, tetapi juga dengan masyarakat pada umumnya dan kepada pemerintah di Jakarta paling banyak. Mengapa harus kita bahas mengenai politik bahasa gerakan mahasiswa? Karena bahasa yang yang digunakan gerakan mahasiswa adalah ‘alat komunikasi’ untuk menyampaikan tujuannya. Gerakan mahasiswa kalau menginginkan perubahan di bidang penegakan hukum, politik bahasa yang dikembangkan adalah penegakan hukum, menjunjung hak asasi manusia, tangkap dan adili koruptor, bersihkan mafia peradilan, dan sebagainya. Gerakan mahasiswa yang berbicara mengenai perbaikan pendidikan menuntut kurikulum yang bersifat nasional, humanis, demokratis, modern, ilmiah, memihak kepada rakyat, sedang penyelenggaranya harus bebas dari segala tuntutan hukum, dan sebagainya.
Fenomena yang berkembang, tradisi literer semacam ini jarang ada di masyarakat yang ditulis ketika masih menjadi mahasiswa, padahal jumlah aktivis gerakan mahasiswa ‘cukup’ banyak. Hal ini menyiratkan gerakan mahasiswa masih ingin berkutat pada bahasa politik secara lisan, belum meluas dalam bentuk tulisan. Bahasa politik secara lisan masih berkuasa begitu hebatnya karena dapat langsung dipakai sebagai alat komunikasi menyampaikan pendapat di muka umum. Lain halnya dengan bahasa secara tertulis yang harus dilihat, dibaca, dan dimengerti dan dengan sasaran yang mungkin belum paham dengan gerakan mahasiswa dipandang dari segi tulisan. Inti tulisan saya ini adalah menyampaikan bahwa gerakan mahasiswa selain memiliki politik bahasa kepada semua pihak, anggaplah demikian, tetapi juga memiliki lingkungan yang membentuknya sebagai bagian dari gerakan mahasiswa. Sederhananya, politik bahasa yang dipakai suatu kelompok berkaitan erat secara timbal balik dengan lingkungan dan kebiasaan kelompok itu dalam lingkungannya.
Bahasan yang patut untuk dikemukakan sekarang adalah politik bahasa yang digunakan dalam gerakan mahasiswa, secara mikro. Di dalam politik bahasa, selain lingkungan gerakan mahasiswa, yang didalamnya selalu terlibat penyeleksian tema-tema gerakan mahasiswa, proses reproduksi tema tersebut, penyimpulan-penyimpulan (yang bagian-bagiannya berupa penghilangan-penghilangan data, fakta tertentu, melakukan generalisasi, dan kombinasi fakta), dan adanya transformasi lokal (bagian-bagiannya adalah penambahan informasi, dan penyusunan fakta dengan urutan tertentu), terdapat juga proses tulisan.
Setiap orang memiliki gaya penulisannya tersendiri, bahkan setiap organisasi gerakan mahasiswa memiliki ciri khasnya masing-masing. Salah satu cara untuk ‘membongkar’ isu apa yang berkembang sehingga menjadi pembicaraan hangat organisasi tersebut dan cara-cara penulisannya juga oleh penulisnya adalah diperlukannya sistem/model untuk menganalisis wacana yang berkembang di organisasi itu. Ada berbagai macam pendekatan (model analisis) yang digunakan untuk membongkar makna dibalik tulisan yang hangat dibicarakan gerakan mahasiswa. Kita mengenal analisis isi dan analisis kritis (interpretatif). Analisis kritis saya gunakan untuk membedah tulisan-tulisan yang berasal dari organisasi gerakan mahasiswa, karena analisis ini menawarkan kepada saya untuk berpikir secara holistik, namun selektif terhadap teks yang harus dibahas, serta ‘meminta’ menunjukkan makna tersembunyi dari makna yang dimaksud dalam tulisan.
Tentunya di dalam analisis kritis itu terdapat begitu banyak model analisis yang dikemukakan oleh para penganjurnya. Namun saya lebih memilih model analisis Teun van Dijk sebagai model yang pantas untuk saya gunakan. Ibarat pakaian, model analisis ini yang paling banyak dikenakan di masyarakat. Analisis model Teun van Dijk memuat tiga hal pokok yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks yang berkembang di masyarakat. Dua hal yang terakhir telah saya kemukakan dalam gerakan intelektual, gerakan moral, dan mengelola akhlak gerakan. Kini yang patut dibahas adalah teks sebagai bagian mikro dari ranah analisis wacana Teun van Dijk. Seleksi teks yang saya lakukan dengan memilih organisasi/kelompok bentukan dari gerakan mahasiswa baik yang ada di Universitas Udayana atau di luar institusi Universitas Udayana (meski organisasi gerakan mahasiswa diluar Universitas Udayana, tetapi sebagian anggota/simpatisan merupakan mahasiswa Universitas Udayana).
Menurut van Dijk, teks terdiri dari beberapa elemen yang menjadi satu kesatuan dan membentuk struktur dapat digambarkan sebagai berikut:

Struktur Makro
Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik/tema yang diangkat oleh suatu teks
Superstruktur
Kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan
Struktur mikro
Makna lokal suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks

Pemakaian kata, kalimat, proposisi, dan retorika tertentu oleh media dipahami oleh van Dijk sebagai bagian strategi penulis. Pemakaian kata-kata tertentu, gaya, kalimat tertentu bukan semata-mata dipandang sebagai cara berkomunikasi, tetapi dipandang sebagai politik berkomunikasi –suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seorang menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik. Berikut ini penjelasan detilnya.

Struktur Wacana
Hal yang diamati
Elemen
Struktur Makro
Tematik
Tema/topik yang dikedepankan dalam suatu berita
Topik
Superstruktur
Skematik
Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh
Skema
Struktur mikro
Semantik
Makna yang ingin dikedepankan dalam teks berita. Misal dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi detil sisi lain.
Latar, Detil, Maksud, Pra-anggapan, Nominalisasi
Sintaksis
Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih
Bentuk kalimat, Koherensi, Kata ganti
Stilistik
Bagaimana pilihan kata yang dpakai dalam teks berita
Leksikon
Retoris
Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
Grafis, Metafora, Ekspresi

Tematik
Elemen tematik menunjuk pada gambaran umum dari suatu teks. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh penulis dalam pemberitaannya dan menunjukkan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi berita. Hal ini mirip dengan kalau kita membaca sebuah buku dan menyimpulkan bahwa buku ini mengisahkan tentang petualangan seseorang atau pengalaman berlibur di desa.
Gagasan penting van Dijk, wacana umumnya dibentuk dalam tata aturan umum. Maksudnya adalah sebuah teks tidak hanya didefinisikan mencerminkan suatu pandangan tapi suatu pandangan yang koheren, yakni bagian-bagian utama ditunjang oleh bagian-bagian yang lain. Nah, bagian-bagian lain ini ditunjang dengan adanya fakta-fakta. Contohnya berita mengenai demonstrasi mahasiswa. Tema umumnya adalah demonstrasi mahasiswa yang anarkis dan sudah menggunakan cara-cara kekerasan. Bagian-bagian yang mendukung adalah adanya fakta-fakta mahasiswa mempersiapkan senjata; provokasi terhadap polisi; demonstrasi yang diwarnai bentrokan. (catatan: ada beberapa kelemahan yang bisa ditunjukkan dengan adanya bias pada berita yang dianalisis. Pertama, adanya bagian-bagian dari teks yang tidak penting, tidak relevan harus dibuang, padahal berita adalah satu kesatuan yang utuh. Kedua, sukar dihindari adanya generalisasi dimana satu atau beberapa informasi yang dianggap sebagai tema umum akan ditafsirkan secara umum. Dari contoh demonstrasi mahasiswa di atas, bisa saja generalisasinya adalah pokoknya kalau ada demonstrasi mahasiswa, pasti anarkis.)

Skematik
Teks atau wacana umumnya memiliki alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur itu menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks itu disusun dan diurutkan sehingga membentuk satu kesatuan. Meski berita memiliki bentuk yang beragam, tetapi ada bagian-bagian yang sama pada tiap berita. Pertama, summary yang ditandai dengan adanya judul dan lead. Kedua, story yakni isi berita keseluruhan yang berisi proses kejadian, komentar orang-orang atau ahli yang diwawancarai, kesimpulan penulis dari hasil wawancara, dsb. Jadi, sebuah peristiwa bisa dimaknai secara berbeda-beda olah penulis.
Skema ini adalah sebuah strategi yang dilakukan untuk menonjolkan suatu bagian dan menyembunyikan bagian lain, atau bisa juga mana yang dianggap penting itu didahulukan baru yang tidak penting. Hal ini memang akan memancing efek pemihakan atau kesan-kesan terhadap suatu peristiwa.

Latar, Detil, Maksud, dan Pra-anggapan
Latar merupakan bagian berita yang dapat mempengaruhi arti yang ingin ditampilkan. Latar yang dipilih menentukan ke arah mana pandangan khalayak akan dibawa. Latar dapat menjadi alasan pembenar gagasan yang diajukan dalam suatu teks. Hal ini berguna untuk membongkar apa maksud yang ini disampaikan oleh si penulis. Meski kadang tidak dibeberkan dalam teks, tapi dengan melihat latar apa yang ditampilkan, kita bisa tebak kemana diarahkan pembicaraan.

Tanpa latar
Masih kuatnya intervensi mikiter dalam kehidupan sipil, merupakan ancaman terhadap perwujudan supremasi sipil/ civil society.
Latar
Harapan rakyat untuk menaruh kepercayaan kepada wakil rakyat cukup mudah dimengerti dengan akal sehat, rakyat Indonesia yang sejak 90-an ditimpa krisis multidimensi, berharap besar bahwa reformasi tahun 98 tidak hanya jadi sebuah catatan buku sejarah dan simbol semata.
Latar
Selama 3 bulan terakhir telah terjadi minimal 30 penangkapan terhadap aktivis di berbagai daerah termasuk Bali. Para aktivis tersebut dianggap telah menghina presiden sesuai dengan pasal 134 KUHP.

Elemen wacana detil berhubungan dengan kontrol informasi yang ditampilkan seseorang. Maksudnya, informasi ada bagian-bagian yang diceritakan lebih banyak dan mendalam, ketimbang bagian yang lain. Tanpa hanya secara terbuka menyatakan suatu pemihakan, dengan cara menceritakan secara detil, cukup menjadi dugaan keberpihakan seorang penulis terhadap suatu hal. Dalam mempelajari detil, yang harus kita teliti adalah keseluruhan dimensi peristiwa, bagian mana yang diuraikan secara panjang lebar, mana bagian yang diuraikan sedikit.

Tanpa detil
Perlu kita ketahui bersama, dalam setiap tahun pemerintah mendapat uang dari penjualan BBM (hanya premium saja) sebesar Rp 11,73 triliun. Kata seorang pakar ekonomi terkenal Indonesia: “Jadi tidaklah betul pemerintah harus mengeluarkan uang setiap bulannya sebesar Rp 10 triliun”. Apabila kita berpikir secara logis, maka uang yang katanya dikeluarkan oleh pemerintah digunakan untuk apa?
Detil
Kolonialisme dan imperialisme harus dienyahkan karena diyakini menghambat perkembangan politik dan ekonomi Asia Afrika yang baru saja memperoleh kemerdekaan nasionalnya: Indonesia (1945), Etiopia dan Liberia (1947), Libia (1951), India dan Pakistan (1947), Yordania (1946). Situasi yang sama juga dihadapi oleh negara baru paska kolonal ini yaitu, seluruh ekonomi nasionalnya masih dikuasai oleh kaum imperialis dari negeri yang menjajahnya dan bahkan beberapa negeri sekaligus.
Detil
Dalam undang-undang sisdiknas telah menetapkan anggaran untuk pendidikan sebesar 20% namun lebih parah lagi ketika anggaran untuk pendidikan pada RAPBN 2005 hanya 21,50 trilyun rupiah (8,11%) lebih rendah dari anggaran militer yang 21, 97 trilyun rupiah (8,29%).

Terdapat perbedaan yang tipis antara detil dan maksud. Detil terlihat pada urai yang panjang dan mendalam, sedang maksud ditekankan pada hal yang eksplisit (terkemukakan) atau implisit (tersamarkan).

Implisit
Pemilu 2004 memang berbeda karena memakai sistem Proporsional terbuka, dimana rakyat secara langsung dapat memilih orang, bukan partai. Memang hal ini kelihatan lebih demokratis, tetapi ini hanyalah dalih Parpol dalam ketidaksiapan memaparkan visi dan misi mereka dalam rancangan maupun pelaksanaannya .
Eksplisit
Kemiskinan dan keterbelakangan sosial sebagai kenyataan umum negeri Asia Afrika, dan seluruh negeri selatan adalah berhubungan, sangat erat bahkan, dengan krisis hutang luar negeri akibat politik hutang dari negeri-negeri imperialis yang culas dan menjerumuskan perekonomian negeri Asia Afrika. Keterbelakangan ekonomi dan perkembangan industri nasional dari negeri Asia Afrika tidak bisa dipisahkan dari ekspansi imperialis neoliberal, yang tentu saja beroperasi melalui kekuatan politik dan ekonomi dari kakitangannya di negeri-negeri Asia Afrika sendiri yang kebanyakan militeris dan korup, dengan doktrin pasar bebasnya, dengan WTO-nya, dengan IMF dan World bank-nya.

Elemen wacana pra-anggapan (presupposition) merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna suatu teks. Kalau latar berarti upaya mendukung pendapat dengan jalan memberi latar belakang, maka pra-anggapan adalah upaya mendukung pendapat dengan memberikan yang dipercaya kebenarannya. Pra-anggapan hadir dengan pernyataan yang dipandang terpercaya sehingga tidak perlu dipertanyakan. Misalnya dalam suatu demonstrasi mahasiswa. Seorang yang setuju dengan gerakan mahasiswa akan memakai pra-anggapan berupa pernyataan “perjuangan mahasiswa menyuarakan hati nurani rakyat”. Pernyataan ini adalah sebuah premis dasar yang akan menentukan proposisi dukungannya terhadap gerakan mahasiswa pada kalimat berikutnya. Setelah pernyataan itu, biasanya diikuti oleh pernyataan yang isinya mendukung gerakan mahasiswa. Pernyataan itu mengandaikan bahwa perjuangan mahasiswa itu murni, tidak dipengaruhi oleh motif politik. Sehingga setiap demonstrasi mahasiswa harus didukung karena menyuarakan suara rakyat.

Tanpa pra-anggapan
Subsidi yang secara langsung tidak dapat dinikmati oleh rakyat miskin selama ini masih dikorupsi oleh elite-elite pemerintahan. Korupsi tersebut dilakukan dengan alasan yang beraneka ragam.
Pra-anggapan
Sebelum kenaikan harga BBM barang yang telah melambung tinggi lebih naik lagi akibat dampak kenaikan BBM.

Koherensi, Koherensi kondisional, Koherensi pembeda, Pengingkaran, Bentuk kalimat, dan Kata ganti
Koherensi adalah pertalian atau jalinan antarkata atau kalimat dalam teks. Dua atau lebih kalimat yang menggambarkan fakta yang berbeda dapat dihubungkan sehingga tampak koheren. Sehingga, fakta yang tidak berhubungan sekalipun dapat menjadi berhubungan ketika seseorang menghubungkannya. Misalkan proposisi ‘demonstrasi mahasiswa’ dan ‘melemahnya nilai tukar rupiah’ merupakan dua fakta yang berbeda. Bagaimana dua fakta itu digabung menjadi satu pernyataan?

Kata hubung ‘dan’
Demonstrasi mahasiswa marak dan nilai tukar rupiah melemah. Di mana-mana mahasiswa turun ke jalan. Kemarin, nilai tukar rupiah melemah ke posisi 8.500 per US$. Ini nilai tukar rupiah yang terendah dalam sebulan terakhir.
Kata hubung ‘akibat’
Maraknya demonstrasi mahasiswa menyebabkan nilai tukar rupiah melemah. Kemarin, nilai tukar rupiah mencapai 8.500 per US$. Ini nilai tukar rupiah yang terendah dalam sebulan terakhir.

Koherensi memberi kesan kepada khalayak bagaimana dua fakta diabstraksikan dan dihubungkan. Misalnya dalam peristiwa penjarahan massal. Pemakaian kata hubung, seperti: “karena tingkat pendidikan mereka rendah” dapat memberi kesan bahwa rendahnya pendidikanlah yang menyebabkan mereka melakukan penjarahan.
Kalau si penulis menganggap dua peristiwa itu terpisah, maka dua peristiwa akan diberitakan secara berbeda, dan tulisan yang berbeda pula. Kalau dua peristiwa itu dianggap berhubungan, umumnya diletakkan dalam satu item berita dan kita bisa amati bagaimana hubungan itu diabstraksikan.
Koherensi kondisional diantaranya ditandai dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Di sini ada dua kalimat, di mana kalimat kedua adalah penjelas atau keterangan dari proposisi pertama, yang dihubungkan dengan kata hubung (konjungsi) seperti ‘yang’, atau ‘di mana’. Kalimat kedua fungsinya dalam kalimat semata hanya penjelas (anak kalimat), sehingga ada atau tidak ada kalimat itu tidak mengurangi arti kalimat. Koherensi ini dalam banyak hal sering kali menggambarkan kepada kita bagaimana sikap penulis atas peristiwa, kelompok atau seseorang yang ditulis. Bagaimana sikap itu dilekatkan dan tanpa disadari menggiring pembaca pada pemahaman atau pemaknaan tertentu.

Tanpa koherensi
Genap 100 hari pemerintahan SBY-JK, kritik dan hasil pemerintahannya patut dikritisi.
Dengan koherensi
Seorang presiden yang gagah seperti SBY selalu dinilai oleh rakyat lewat perwakilannya, yang disebut dengan MPR, namun apalah daya ketika lembaga ini tidak lagi berpihak pada rakyat.

Penjelas negatif
Seorang presiden yang gagah seperti SBY selalu dinilai oleh rakyat lewat perwakilannya, yang disebut dengan MPR, namun apalah daya ketika lembaga ini tidak lagi berpihak pada rakyat.
Penjelas positif
Seorang presiden yang gagah seperti SBY selalu dinilai oleh rakyat lewat perwakilannya, yang disebut dengan MPR, namun lembaga yang diharapkan sumbangsihnya pada negeri ini belum mampu berbuat banyak kepada rakyat Indonesia.

Kalau koherensi kondisional berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa dihubungkan/dijelaskan, maka koherensi pembeda berhubungan dengan pertanyaan bagaimana dua peristiwa atau fakta itu hendak dibedakan. Dua peristiwa dapat dibuat seolah-olah saling bertentangan dan berseberangan (contrast) dengan menggunakan koherensi ini.




Tanpa koherensi pembeda
Pada masa Habibie, kran kebebasan pers telah dibuka lebar-lebar, kebebasan pers ini dilanjutkan oleh pemerintahan Gus Dur, hanya sayangnya dicoreng oleh peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit.
Koherensi pembeda
Dibandingkan pemerintahan Habibie, kebebasan pers di era Gus Dur mengalami kemunduran. Pada masa Gus Dur terjadi peristiwa pendudukan Banser atas Jawa Pos yang menyebabkan koran tersebut tidak bisa terbit.

Efek pemakaian koherensi pembeda ini bermacam-macam. Akan tetapi, yang terlihat nyata adalah bagaimana pemaknaan yang diterima oleh khalayak berbeda. Karena satu fakta atau realitas dibandingkan dengan realitas yang lain. Di sini yang harus dikritisi adalah bagian mana yang diperbandingkan dan dengan cara apa perbandingan itu dilakukan. Apa efek dari perbandingan itu, apakah membuat satu fakta menjadi lebih baik atau bertambah buruk? Dalam kasus di atas, pemakaian koherensi pembeda menyebabkan jadi buruk. Apa yang dilakukan dan diperjuangkan Gus Dur seolah tidak ada artinya ketika dibandingkan dengan Habibie. Lalu, kenapa yang dijadikan perbandingan adalah pemerintahan Habibie, kenapa bukan Soeharto atau Soekarno?
Elemen wacana pengingkaran adalah bentuk praktik wacana yang menggambarkan bagaimana penulis menyembunyikan apa yang ingin diekspresikan secara implisit. Dalam arti yang umum, pengingkaran menunjukkan seolah penulis menyetujui sesuatu, padahal ia tak setuju dengan memberikan argumentasi atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut. Dengan kata lain, pengingkaran merupakan bentuk strategi wacana dimana penulis secara tidak tegas dan eksplisit menyampaikan pendapat dan gagasannya kepada khalayak.

Tanpa pengingkaran
Komunisme di banyak negara sudah mati.
Tanpa pengingkaran
Komunisme sewaktu-waktu dapat hidup kembali.
Pengingkaran
Memang komunisme di banyak negara sudah mati, tetapi sewaktu-waktu dapat hidup kembali.

Pengingkaran
Janjimu berbalik 360%, bukan membawa rakyat Indonesia menjadi sejahtera, malah membuat Indonesia semakin melarat didalam keadaan yang serba suasah…..dst.
Pengingkaran
Ternyata bentuk protes dari masyarakat disambut dengan popor senjata yang bukan sama sekali cara-cara penyelesaian masalah dengan menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia dan demokratisasi. Malah sebaliknya, represifitas yang didapatkan oleh rakyat.

Bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Di mana ia menanyakan apakah A yang menjelaskan B, ataukah B yang menjelaskan A. Logika kausalitas ini kalau diterjemahkan ke dalam bahasa menjadi susunan subjek (yang menerangkan) dan predikat (yang diterangkan). Bentuk kalimat ini bukan hanya persoalan teknis kebenaran tata bahasa, tetapi menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam kalimat yang berstruktur aktif, seseorang menjadi subjek dari pernyataannya, sedangkan dalam kalimat pasif seseorang menjadi objek dari pernyataannya.

Aktif
Polisi melakukan pemukulan terhadap mahasiswa yang tengah melakukan demonstrasi.
Pasif
Mahasiswa yang tengah melakukan demonstrasi dipukul oleh polisi.

Yang juga penting dalam sintaksis selain bentuk kalimat adalah posisi proposisi dalam kalimat. Bagaimana proposisi–proposisi diatur dalam satu rangkaian kalimat. Proposisi mana yang ditempatkan di awal kalimat, dan mana yang di akhir kalimat. Penempatan itu dapat mempengaruhi makna yang timbul karena akan menunjukkan bagian mana yang lebih ditonjolkan kepada khalayak.

Awal
Sementara mahasiswa ditembaki, anggota MPR sibuk bersidang.
Akhir
Anggota MPR sibuk bersidang, sementara mahasiswa ditembaki.

Termasuk ke dalam bagian bentuk kalimat ini adalah apakah berita itu bersifat deduktif atau induktif. Deduktif adalah bentuk penulisan dengan penyajian bagian inti di depan sedang induktif bagian inti berita terdapat pada bagian belakang.
Elemen kata ganti merupakan elemen untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti merupakan alat yang dipakai oleh komunikator untuk menunjukkan posisi dimana posisi seseorang dalam wacana.
Pemakaian kata ganti jamak seperti ‘kita’ (atau ‘kami’) mempunyai implikasi menumbuhkan solidaritas, aliansi, perhatian publik, serta mengurangi kritik dan oposisi (hanya) kepada diri sendiri. Prinsipnya adalah merangkul dukungan dan menghilangkan oposisi yang ada. Untuk yang sependapat dengan penulis dipakai kata ganti ‘kami’ sedangkan dengan pihak yang tidak sependapat dipakai kata ganti ‘mereka’.

Kata ganti ‘saya’
Kawan2, saya dalam kondisi baik/sehat secara fisik & phsikis. Semua ini tentu karena dukungan moril dari kawan2 semuanya, sehingga sampai detik ini saya masih kuat menjalani kehidupan baru di penjara ini
Kata ganti ‘kita’
Penjara tidak akan pernah menyurutkan langkah perjuangan kita untuk melawan kesewenang-wenangan & ketidakadilan di negeri ini

Kata ganti ‘kami’
Kami dari Komite Mahasiswa Merdeka UNUD menyerukan kepada kawan-kawan mahasiswa serta setiap elemen di Universitas Udayana untuk dengan tegas Menolak Kampanye PARPOL di Dalan Kampus !!!!!!
Kata ganti ‘mereka’
Dan mari kita tunjukan kepada Penguasa, bahwa perlawanan akan selalu ada bila mereka menindas rakyat!!!

Leksikon
Pada dasarnya elemen ini menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Suatu fakta umumnya terdiri atas beberapa kata yang merujuk pada satu fakta. Kata ‘meninggal’, misalnya mempunyai kata lain: mati tewas, gugur, terbunuh, menghembuskan napas terakhir, wafat, mangkat, dan sebagainya. Di antara beberapa kata itu seseorang dapat memilih di antara pilihan yang tersedia. Dengan demikian pilihan kata yang dipakai tidak semata hanya karena kebetulan, tetapi juga secara ideologis menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta/realitas.

Polisi melakukan kekerasan terhadap mahasiswa yang tengah demonstrasi
Polisi membunuh mahasiswa yang tengah demonstrasi
Polisi membantai mahasiswa yang tengah demonstrasi

Grafis dan Metafora
Elemen ini merupakan bagian untuk memeriksa apa yang ditekankan (yang berarti dianggap penting) oleh seseorang yang dapat diamati dari teks. Dalam wacana berita, grafis ini biasanya muncul lewat bagian tulisan yang dibuat lain dibandingkan tulisan lain. Pemakaina huruf tebal, huruf miring, pemakaian garis bawah, huruf yang dibuat dengan ukuran yang lebih besar. Termasuk di dalamnya penggunaan caption, raster, grafik, gambar, atau tabel untuk mendukung arti penting suatu pesan. Bagian-bagian yang ditonjolkan ini menekankan kepada khalayak pentingnya bagian tersebut. Bagian yang dicetak berbeda adalah bagian yang dipandang penting oleh komunikator, di mana ia menginginkan khalayak menaruh perhatian lebih pada bagian tersebut. Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar atau tabel untuk mendukung gagasan atau untuk bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan. Misalnya ingin menonjolkan keberhasilan suatu program dengan jalan menampilkan tabel keberhasilan yang telah dicapai. Bentuk ekspresi lain adalah dengan menampilkan huruf yang berbeda dibandingkan dibandingkan dengan huruf lain, seperti yang telah disebutkan di atas. Jadi grafis adalah bagian dari ekspresi penulis. Dalam wacana yang berupa pembicaraan, ekspresi ini diwujudkan dalam bentuk intonasi dari pembicara yang mempengaruhi pengertian dan menyugesti khalayak pada bagian mana yang harus diperhatikan dan bagian mana yang tidak. Elemen grafik memberikan efek kognitif, dalam arti ia mengontrol perhatian dan ketertarikan secara intensif dan menunjukkan apakah suatu informasi itu dianggap penting dan menarik sehingga harus dipusatkan/difokuskan. Melalui citra, foto, tabel, penempatan teks, tipe huruf, dan elemen grafis lain yang dapat memanipulasi secara tidak langsung pendapat ideologis muncul.
Dalam suatu wacana, seorang penulis tidak hanya menyampaikan pesan pokok lewat teks, tetapi juga kiasan, ungkapan, metafora, yang dimaksudkan sebagai ornamen atau bumbu dari suatu berita. Akan tetapi, pemakaian metafora tertentu bisa jadi petunjuk utama untuk mengerti makna suatu teks. Metafora tertentu dipakai oleh penulis secara strategis sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan tertentu kepada publik. Penulis menggunakan kepercayaan masyarakat, ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, bahkan mungkn ungkapan yang diambil dari ayat-ayat suci –yang semuanya dipakai untuk memperkuat pesan utama.



(Catatan: dua tulisan di bawah tulisan ini menggunakan beberapa bagian referensi bacaan/tulisanyang saya sebut berikut ini)




Referensi bacaan

Buku
Eriyanto, 2001, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, LKiS, Yogyakarta
Gie, S. H., 1995, Zaman Peralihan, Bentang Budaya, Yogyakarta
Hoffer, E., 1993, Gerakan Massa, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
McMahon, McMahon, 1986, Pschology: The Hybrid Science, 5th ed., The Dorsey Press, Chicago, USA
Raillon, F., 1989, Politik dan Ideologi Mahasiswa, LP3ES, Jakarta
Suharsani, G. A., et. al., 2004, Jurnalisme Aka, Analisis Pemberitaan Tabloid “Akademika” 1998-2003, Indie Pustaka, Denpasar
Suryawan, I N., 2005, Jejak-jejak Manusia Merah, Siasat Politik Kebudayaan Bali, Penerbit Buku Baik dan ELSAM, Yogyakarta
______________, 2004, Dicari Terus: Mahasiswa Merdeka, Indie Pustaka, Denpasar
Widjojo, M. S., et. al., 1999, Penakluk Rezim Oerde Baru Gerakan Mahasiswa ’98, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta

Artikel
Salain, P. R., 2003, Mahasiswa dan Permasalahannya: Meraih Prestasi untuk Merebut Masa Depan, Denpasar
Wangge, F., 2004, Menghalangi Jalan Politisi Bermasalah: Sebuah Investasi Politik Jangka Panjang, Denpasar
Gutomo, H., tanpa tahun, 21 Mei; Disakralkan, Dimitoskan, Sia-sia, Denpasar

Selebaran
KMM Unud, tanpa tahun, Seruan Aksi, Denpasar
PM Unud, 2004, Menggugat Penyelewengan Agenda Reformasi, Seruan Aksi, Denpasar
LMND Eksekutif Kota Denpasar, 2004, Tolak Militerisme, Selebaran, Denpasar
LMND, tanpa tahun, Komersialisasi Pendidikan, Selebaran, Denpasar
LMND Eksekutif Kota Denpasar, tanpa tahun, Buruh dan Rakyat Bersatu Tolak UMP/UMK Murah !!!, Selebaran, Denpasar
PM Unud, tanpa tahun, Ajakan Diskusi Bersama: Menyikapi Rencana Kenaikan BBM, Selebaran, Denpasar
Frontier Bali, 2004, Pernyataan Sikap, Selebaran, Denpasar
Frontier Bali, tanpa tahun, Seruan Aksi Bersama, Selebaran, Denpasar
Frontier Bali, 2005, Pernyataan Sikap: Indonesia, Negara Sejuta Persoalan, Selebaran, Denpasar
Humas PMB, 2005, Pernyataan Sikap, Selebaran, Denpasar
PMB, 2005, Pernyataan Sikap Raport 100 Hari Pemerintahan SBY-JK, Selebaran, Denpasar
Departemen Diskusi & Aksi ARB, tanpa tahun, Tanpa Kehendak Menggalang Persatuan dari New Emerging Forces Konferensi Asia Afrika 2005 merupakan Proyek Pemborosan!!, Selebaran, Denpasar
BOB-Bali, tanpa tahun, Hak-hak Dasar Manusia sebagai Hak Asasi Manusia, Selebaran, Denpasar
LLM FP Unud, 1999, Pernyataan Sikap, Selebaran, Denpasar
FOK, 2004, Kerangka Acuan Diskusi, Undangan, denpasar
Arifin, S. dan I Ngurah Suryawan, 1999, tanpa judul, Keterangan Pers, Akademika, Denpasar
Anonim, tanpa tahun, bahan kampanye paket pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa Unud I Made Lapunggel (Ege) – I Nyoman Sukadana (Menot), Denpasar
Suardana, I Wayan ‘Gendo’, tanpa tahun, surat pribadi Gendo pada kawan-kawan seperjuangan, Denpasar

selanjutnya...

Mahasiswa, Kembalilah ke Kampus


Setidaknya ada rasa bangga menjadi mahasiswa, selain rasa bahagia dapat menempuh pendidikan tinggi. Rasa bangga itu merupakan wujud sebuah profesi di tengah-tengah masyarakat, selain belajar, juga menjadi fungsi kontrol sosial. Ada kalanya kita (mahasiswa) duduk anteng di bangku kuliah mendengar penjelasan dosen, ada kalanya berdiskusi, ada kalanya ‘turun ke jalan’.
Ketika kekacauan politik mulai memuncak di medio 1966, mahasiswa mengambil peran bersama tentara (khususnya Angkatan Darat) melakukan perubahan besar dan mendasar mengatasi kekacauan politik. Perubahan kepemimpinan nasional yang baru setidaknya membuka peluang di kalangan mahasiswa untuk memasuki dunia politik. Namun sewindu kemudian gerakan mahasiswa itu kembali memuncak, dipicu ketidakpuasan terhadap jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara oleh penguasa Orde Baru. Akibatnya, di tahun-tahun berikutnya, gerakan mahasiswa teredam ‘suara’-nya, nyaris tak terdengar (Raillon, 1989).
Persis sama dengan momen peralihan kepemimpinan secara revolusioner yang terjadi tahun 1966, tahun 1998 adalah momen kedua gerakan mahasiswa setelah kegagalan Orde Baru mengatasi kesulitan keuangan negara, ekonomi, mental penyelenggara pemerintahan, dan tekanan internasional. Gerakan inipun, setidaknya didukung kalangan akademisi, sebagian politisi yang melihat ‘celah’ reformasi kepemimpinan nasional. Semenjak momen itu, aksi turun ke jalan menjadi agenda tetap, untuk memperingati, mengajukan protes sosial, eksistensi gerakan mahasiswa, mengagitasi masyarakat untuk mengamini gerakan mahasiswa: mencoba untuk selalu menghadirkan citra gerakan moral mahasiswa.

Intellectual masochism
Soe Hok Gie sempat menulis, begini intinya, mahasiswa kalau berkuasa akan menindas, kalau ditekan akan merintih. Suatu perilaku individualis, ingin selalu menang pendapatnya, tetapi menjadi pengecut, bernyali kecil di saat terjadi penekanan. Tidak perlu lagi untuk diperdebatkan apa pernyataan ini benar atau salah, berkelanjutan pada kurun waktu lama atau tidak. Kenapa? Karena pertanyaan dan jawaban salah atau benar, membudaya atau tidak, hanya bangunan gerbang dari sebuah masyarakat bernama mahasiswa. Itu hanya paradigma positivis, istilahnya. Pandangan tersebut seharusnya telah diubah oleh kalangan mahasiswa sendiri dari dalam dengan cara membangun jaring-jaring kehidupan organisasi, membangun keberhakan menyatakan pendapat sesuai dengan porsinya dan menghargai pendapat individu, sistem lembaga, pemimpin masing-masing organisasi dalam jejaring tersebut, menumbuhkan trust yang menyeluruh (bukan setengah-setengah) bersifat konstruktif tanpa ada prasangka buruk pada suatu sistem. Tapi pada kenyataannya, tidak semua bisa dilakukan.
Mahasiswa bisa saja mengadakan revolusi besar-besaran hingga mengubah tatanan kenegaraan, tetapi mahasiswa gagal menjadikan lingkungan pendidikannya sebagai suatu lahan mengabdikan ilmunya bagi diri, keluarga, masyarakat sekitar. Yang ada hanya keluhan-keluhan atas keadaan yang tidak menguntungkan. Meski keluhan-keluhan itu juga sebagian berasal dari suara wong cilik, sekonstruktif apapun, tak urung cuma keluhan untuk mendapatkan kepuasan yang aneh: suatu tindakan intellectual masochism.

Mental kuli
Tindakan cuma mengeluh di atas, menyeret mahasiswa pada ketidakberdayaan gerakan mahasiswa keseluruhan. Tindakan ini bukan mencoreng atau menjatuhkan martabat gerakan mahasiswa. Tapi justru lebih parah, melumpuhkan jati diri, bagi yang mengatakannya agent of change. Bagi mahasiswa yang tidak merasa agent of change, tentunya tenang-tenang saja (istilahnya adalah K3: kuliah, kos, dan kampung halaman). Agent of change itu sebuah ikon jati diri yang kita refleksikan lewat bahasa dan kekuatan. Namanya saja agen perubahan, bisa saja menjadi agen inisiasi, mediasi, dan atau terminasi suatu perubahan. Hanya saja, gerakan mahasiswa sampai pada inisiasi dengan mediasi yang setengah-setengah. Lalu kekuatan terminasinya justru diabaikan. Terminasinya seringkali berada dalam keadaan wrong time and wrong place, salah tempat dan salah waktu. Terminasinya bukan lagi berada di gedung MPR/DPR, bukan lagi di jalanan, bukan lagi ada di pertemuan-pertemuan mahasiswa, tetapi ada di setiap ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan.
Kenapa disana? Karena disanalah kita memulai segalanya sebagai gerakan mahasiswa. Bagaimana kita bisa berdemo dengan segala macam tuntutan mengatasnamakan gerakan mahasiswa, bahkan mengatasnamakan rakyat, tanpa memperoleh predikat mahasiswa? Justru inilah yang terkadang diabaikan, seperti gajah di depan mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Salah satu terminasi reformasi atau revolusi yang dilakukan gerakan mahasiswa adalah perbaikan mutu ajaran dan didikan di bangku kuliah. Agar nantinya tidak menjadi individu bermental kuli yang pernah dikatakan Bung Karno; kita memang dididik dengan pengetahuan yang luar biasa, tapi sayang menjadi bangsa-bangsa kuli atau kuli diantara bangsa-bangsa. Sederhananya, iklim intelektual yang aktif harus tercipta dibangku kuliah sebagai bentuk suatu sistem pendidikan yang dinamis. Sayang, mahasiswa kadang lebih suka gosip daripada melakukan penelitian.

Sikap aproporsional
Kenapa gerakan mahasiswa sekarang tidak begitu “laku di pasaran nasional”? Harus diakui, gerakan mahasiswa kini terjebak pada persoalan pragmatis dan kelemahannya untuk mengorganisasikan dirinya menghadapi masa transisi. Terkadang pula sikap gerakan mahasiswa menjadi aproporsional sehingga melumpuhkan ikon gerakan perubahan. Contoh yang nyata adalah penyerbuan polisi ke dalam Kampus UMI. Semestinya gerakan kekerasan polisi dapat dicegah jika kedua pihak memiliki itikad baik untuk sama-sama menyatakan pendapat, terlebih mahasiswa yang senantiasa mengusung gerakan moral. Hal yang sama juga terjadi ketika segerombolan orang tak jelas identitasnya ‘menyerbu’ gerakan mahasiswa di kampus Universitas Udayana beberapa waktu lalu. Picu masalah selalu terletak pada Orde Baru, warisan ideologi, para kroni, dan kerja-kerjanya.
Sikap aproporional mahasiswa menyikapi rezim otoriter Orde Baru justru menjebak gerakan mahasiswa masuk pada masalah pragmatis dan tidak mampu mengorganisasikan gerakannya sendiri, akibatnya gerakan menjadi lemah. Timbullah kerapkali kata-kata, “Gimana, sih, mahasiswa? Keadaan yang sudah lumayan tenang, masih saja demo?” Benar-benar sebuah bumerang gerakan intelektual. Sikap sok tahu, sok pahlawan reformasi, sikap arogan gerakan mahasiswa harus dihentikan. Memulainya dari bangku kuliah dengan menyatakan gerakan mahasiswa adalah agent of change menjadi leader of change.
Sebagai penutup, penggalan karya Soe Hok Gie dalam bukunya Zaman Peralihan, menjadi penting untuk direnungi terutama bagi aktivis mahasiswa. Di dalamnya berkatalah Sjahrir: “...Pemoeda kita itoe oemoemnja hanja mempoenjai ketjakapan oentoek mendjadi serdadoe, jaitoe berbaris, menerima perintah menjerang, menjerboe dan berdjibakoe dan tidak pernah diadjar memimpin.”

selanjutnya...

Jangan Anarkis, Kawan


Jika kami bunga,
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu,
telah kami sebar biji-biji
suatu saat,
kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan:
engkau harus hancur!
(Wiji Thukul, Bunga dan Tembok)

Demikian sepenggal puisi yang disampaikan Wiji Thukul. Jelas tersirat dalam penggalan di atas rasa kekecewaan Wiji Thukul terhadap “tembok”. “Tembok” itu tak lain adalah kekuasaan-penguasa-berkuasa yang dirasa menguasai semuanya secara berlebihan. Dan tentang “biji yang disebar” adalah rasa kekecewaan yang ditanamkan dalam setiap benak sehingga terjadi penghancuran. Ilustrasi di atas, saya rasa, tepat untuk dijadikan penggambaran setiap Gerakan Mahasiswa (GM) di setiap jamannya. Berapa kali negara ini telah mengganti presidennya, minimal sejumlah itu pula keinginan yang ada pada benak di beberapa mahasiswa/kelompok mahasiswa untuk menjatuhkan kekuasaan- kata lain yang dapat saya sebut sebagai menghancurkan “tembok”.
Sebegitu perlukah setiap ada pemimpin bangsa ini untuk dijatuhkan? Mungkin perlu jika telah melewati batas. Tapi batas apakah yang bisa dijadikan pedoman sehingga harus mengatakan “tembok” tersebut harus dihancurkan? Hanya dari raportkah yang dibuat-buat sendiri, ditandatangani sendiri oleh kalangan mahasiswa yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan? Atau berita di media massa? Mungkin saja. Tapi jangan anarkis, kawan. Anarkis dalam artian rusuh beneran. Atau anarkis yang akan saya sebutkan di bawah ini.

Penggunaan statistik
Kalangan GM kerap menggunakan data-data statistik sebagai “senjata” untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi tak jarang pula tak hanya sekadar menyampaikan pendapat tapi mematahkan pendapat lain yang ada atau malah berusaha menumbangkan “senjata pihak lawan”. Tentu bukan senjata dalam arti sesungguhnya, karena mahasiswa bukan seorang kombatan. Ya, hanya dalam debatlah hal demikian terjadi.
Berdebat merupakan tempat pertempuran yang paling mengasyikkan bagi mahasiswa yang sering berdiskusi. Pengutipan-pengutipan dilakukan dari segala sumber yang diingat, dicatat, atau yang diterjemahkan dari orang lain. Tak hanya data kualitatif yang digunakan, data kuantitatif juga dijadikan dasar berpijak untuk mengesahkan pendapat. Namun sayang, kekurangan terbesar kalangan mahasiswa yang berhadapan dengan data statistik adalah sering mengutip data-data, mengambil sebagian data dan membuang atau menyembunyikan data lain, generalisasi yang dilakukan secara membabi buta, dan mungkin pula belum banyak yang mengetahui data tersebut dari mana, bagaimana cara memperolehnya, kesahihannya bagaimana, tingkat kesalahannya seberapa, dan sebagainya.
Dimungkinkan sekali kita yang terbiasa mengutip dari sumber sana-sini akan menjadi bintang debat masa depan, tapi kita justru akan terseok-seok ketika orang meminta pendapat kita, dengan berdasar data statistik yang kita buat sendiri sedang kita tak dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal kita disebut oleh masyarakat adalah komunitas yang lekat dengan dunia intelektual.

[mungkin] hilangnya optimis
Terkadang saya membatin ketika melihat kawan-kawan saya yang mengadakan aksi turun ke jalan, apakah kita sebagian atau bahkan semuanya termasuk orang-orang yang tidak cerdas untuk bersyukur? Saya hanya melakukan aksi turun ke jalan satu kali dan saya tak merasakan apa-apa kecuali rasa lelah pada badan saya. Kita seolah mengetahui ada ketidakadilan di masyarakat, tapi adilkah kita terhadap diri kita sendiri dengan berani mengorbankan waktu kuliah untuk aksi turun ke jalan? Kita semua memiliki pandangan yang berbeda. Tetapi yang membedakan pandangan orang yang ikut atau tidak ikut dalam aksi turun ke jalan –sebagai salah satu tindakan yang paling populer menyuarakan pendapat di muka umum- ada dalam optimis.
Bagi saya, setiap hari jika dijejalkan rasa kekecewaan, kemuakan dengan kekuasaan, pesimis dengan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini, saya yakin, di kemudian hari hanya kata-kata itu yang melengkapi masa depan GM yang kita wariskan. Sebagai contoh kekecewaan dengan kenaikan harga BBM, memang wajar, biaya hidup semakin tinggi, kebutuhan juga makin banyak yang tidak dapat ditunda, dapat disimpulkan secara sederhana hidup tambah susah. Tapi kekecewaan yang berlebihan, disertai kemuakan-kemuakan atas kondisi yang terjadi, bahkan pesimis bangsa ini akan menghadapinya dengan baik, justru membuat parah suasana. Ketidakpercayaan bangsa ini akan keluar dari krisis multidimensi apalagi ditambah aksi mogok makan, misalnya, tambah lebih parah kondisi badan kita. Bolehlah kita berteriak tentang kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya, tapi apakah kita menyejahterakan diri kita dengan aksi mogok makan.
Kawan, tidak selamanya optimis adalah kata yang tabu bagi kalangan GM yang merasa Indonesia belum sejahtera setelah dihantam berbagai krisis. Mendramatisasikan pesimisme di dalam benak kita setiap waktu dimana saja hanya akan berbuah pada kekecewaan yang mendalam: bahwa Indonesia akan tetap sebagai negeri jajahan.

Berkatalah yang jujur
Penyampaian pendapat yang dilakukan oleh aktivis GM biasanya tak lebih dari: generalisasi, penggunaan majas (pertentangan, pengandaian, pertautan), penyimpulan dari beberapa premis yang acak, alur tertentu, slogan-slogan yang dapat membangkitkan semangat, memiliki latar yang umum menuju hal khusus, dan seruan-seruan. Tapi diantara kemampuan teknik kita untuk menyampaikan pendapat dengan perangkat-perangkat kebahasaan di atas, kerap kita masukkan satu perangkat yang mematikan: kita juga tidak berkata jujur.
Saya contohkan penggunaan data statistik sembarangan sekaligus pesimisme dan perkataan yang tidak jujur dilakukan hanya untuk melegitimasi sebuah aksi GM. “Kenapa kesembronoan para pengelola pemerintah harus ditimpakan akibatnya pada rakyat Indonesia yang sebagian besar (40%) hidup dibawah garis kemiskinan?” Benarkah pengutipan data ini? Dari manakah sumbernya, berapa tingkat kesalahannya, dikeluarkan oleh lembaga apa? Bagaimana jalan keluar dari masalah ini jika benar valid data itu? Periksalah kembali data itu, apakah memang demikian adanya (jumlah rakyat Indonesia keseluruhan dikali 40% sama dengan jumlah rakyat miskin).
Ketiga hal di atas –penggunaan data statistik yang sembarangan, hilangnya optimisme, dan pengungkapan yang tidak jujur- merupakan tindakan anarkis yang dapat saja dilakukan oleh setiap elemen GM. Mengapa saya katakan sebagai tindakan anarkis? Jawabannya sederhana: kita termasuk orang-orang yang tidak tahu diri. Patut dipertanyakan intelektualitas kita jika ketiga hal di atas kita kemukakan.

selanjutnya...

Rabu, 24 Oktober 2007

Membedah Motif Kelesuan Organisasi Mahasiswa

...MahasiswaMahasiswa yang membenturkan dirinya pada gerakan kepedulian sosial semakin dituntut untuk terus berefleksi ke dalam. Hal ini kerap berguna melepaskan diri dari jebakan verbalisme. Tuntutan bersikap bijak dan arif dalam menjalankan visi kerakyatannya menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa. Jangan meniru orang tua-orang tua penguasa yang menganggap dirinya semakin tua semakin bijak, padahal semakin tua semakin pikun.
(Roberto Hoetabarat dalam prolog buku Dicari Terus: Mahasiswa Merdeka karya I Ngurah Suryawan, Indie Pustaka, 2004)
Tantangan sekaligus harapan teruingkap jelas dalam prolog buku di atas. Tantangun untuk terus berefleksi ke dalam sehingga muncul sikap bijak dan aris disertai harapan untuk tidak meniru kepura-puraan merasa paling bijak diantara hubungan sosial yang terjalin selama ini. Bahkan belum cukup tantangan dan harapan, kecuali menjalankan visi kerakyatan. Visi kerakyatan benar-benar dijadikan satu-satunya viusi mahasiswa sebagai hasil refleksi ke dalam diri.
Untuk menjawab tantangan dan harapan di atas, mahasiswa mesti memiliki gerakan dan wadah gerakannya berupa lembaga kemahaiswaan. Menifestasi pemikiran gerakan itu terwujud dengan adanya berbagai macam lembaga kemahasiswaan baik intra kampus maupun ekstra kampus sekalian dengan corak gerakannya masing-masing. Di dalam kampus terdapat lembaga kesenatan, badan perwakilan, lembaga kemahaiswaan pengembangan minat-bakat, dan perwakilan jurusan-jurusan. Sedang di luar “pagar kampus” beragam lembaga kemahaiswaan yang mengusung beragam ideologi dalam keadaan “mengepung” kampus. Lembaga kemahasiswaan ekstra kampus lebih banyak memiliki landasan gerakan keagamaan, nasional, profesi, kedaerahan, dan gerakan “kekiri-kirian”.
Tidak dapat dihindarkan bahwa kehidupan lembaga kemahasiswaan mengalami dinamika. Pasang surunya lembaga kemahsiswaan tidak terlepas dari alih generasi yang berkesinambungan, berkembang atau surutnya kreativitas sebagai nilai bertahan hidup (survival value) dan pendanaan organisasi, kredibilitas dan rasa tanggung jawab sosial sebagai nilai pertumbuhan (growth value) sebuah lembaga kemahasiswaan. Selain itu, dinamika yang terjadi juga adanya sinergi atau kompetisi antara lembaga kemahaiswaan soal kedua nilai di atas. Misalnya, tarik-menarik rekrutmen anggota senat dan lembaga kemahaiswaan ekstra kampus atau pembagian wilayah “operasi” lembaga-lembaga kemahasiswaan.
Diagram venn lembaga mahasiswa dan mahasiswa
Terdapat tiga tipe mahaiswa yang memiliki kaitan erat dengan lembaga kemahaiswaan. Tiga tipe tersebut yaitu pegiat lembaga mahaiswa yang sering disebut aktivis mahaisiwa, partisipan, dan mahasiswa pasif yang tidak terjun menekuni lembaga kemahasiswaan. Munculnya tiga tipe ini didasarkan pada pemetaan keikutsertaan (aktivitas) beserta penilaian mahasiswa terhadap lembaga kemahasiswaan.
Sebuah diagram venn yang menggambarkan hubungan lembaga kemahaiswaan, mahaiswa, dan “daerah irisan” keduanya dalam semesta pembicaraan dunia kemahaiswaan. Terdapat tiga buah sisi fenomena di dalamnya, pertama di sisi mahasiswa kepentingan akademik dan lapangan pekerjaan menjadialasan kuat mahasiswa yang menyatakan lembaga kemahasiswaan tidak signifikan berpeangaruh dalam mencapai kepentingannya. Di sisi lain, lembaga kemahasiswaan kental dengan ruinitas kegiatannya, menuntut tanggung jawab sosial, dan sarat dengan berbagai ideologi yang berkembang di masyarakat. Sedang di daerah irisannya berupa motif mahasiswa yang mengikuti organisasi seperti adanya kepentingan bersama, terwujudnya relasi sosial yang luas, budaya keilmiahan yang terbangun di lembaga kemahasiswaan, pengaruh pergaulan di suatu lingkungan tertentu, bahkan sampai mahasiswa yang hanya ikut-ikutan organisasi agar terkesan intelek, tenar, ikut pacar, sekadar mencari pengalaman organisasi, dan sebagainya.
Motif mahasiswa pasif
Masalah klasik yang selalu dihadapi gerakan mahasiswa salah satunya krisi generasi atau sederhananya lembaga kemahasiswaan bukanlah tempat yang menarik bagi sebagian mahasiswa. Tipe mahasiswa pasif dalam gerakan mahasiswa memang menarik untuk dibahas sebagai bagian gerakan mahasiswa yang mengusung visi kerakyatan. Apa motif dibalik keengganan bahkan ketidakmauan sebagian kalangan mahasiswa mengambil bagian di kelembagaan mahasiswa? Dari diagram venn organisasi mahasiswa dan mahasiswa di atas terlihat adanya ketimpangan “apa yang harus diberikan” dan “apa yang diterima” jika seorang mahasiswa mengambil bagian dalam sebuah lembaga kemahasiswaan. Pertama, seorang mahasiswa enggan berkecimpung dalam lembaga kemahasiswaan karena tidak mau mengambil resiko. Resiko dalam keterlambatan akademik dapat dijadikan alasan kuat untuk menunda bahkan ketidakterlibatan dalam lembaga kemahasiswaan, sedang resiko ketidakbebasan untuk menikmati masa mahasiswa sebagai akibat tanggung jawab organisasi bisa menjadi alasan berikutnya.
Selain itu, bukan rahasia umum lagi, kadangkala suatu lembaga kemahasiswaan terjebak dalam rutinitas. Rutinitas kegiatan awalnya dimaknai dengan semangat namun kegiatan yang maknanya sama secara berulang-ulang menyebabkan kebosanan tidak dapat dilawan oleh individu mahasiswa yang ingin terus bergerak dalam berbagai aktivitas. Produk-produk lembaga kemahasiswaan berupa berbagai kegiatan pada dasarnya sarat dengan dinamika yang warna-warni, namun hal ini tentunya akan ditentang sebagian aktivitas mahasiswa yang ingin melestarikan tradisi secara absolut. Sebagai contoh orientasi penerimaan mahasiswa baru di beberapa fakultas biasanya diwarnai bentak-bentakan, dan segala macam bentuk penggemblengan fisik-mental secara terpadu dari tahun ke tahun. Rutinitas awal tahun akademik ini kadang membosankan untuk diikuti, karena tak ada perubahan ke arah pola pikir yang lebih bersifat akademis.
Ketiga, alasan-alasan pribadi mahasiswa yanng biasa dijadikan senjata untuk tidak terlibat dalam kegiatan lembaga mahasiswa. Alasan-alasan tersebut seperi rasa malas, tidak cocoknya ideologi organisasi mahasiswa dengan individu mahasiswa, tidak ada relasi (kenalan) di lembaga mahasiswa, teramat sibuk untuk mengejar indeks prstasi (IP) yang tinggi atau bekerja, atau bahkan tunduk pada keinginan orang tua untuk fokus pada kuliah saja. Bahkan tak jarang beberapa individu mahasiswa benar-benar tidak akan berkecimpung dalam dunia kemahasiswaan disebabkan rasa kecewa, termarginalkan oleh suatu lembaga kemahasiswaan. Rasa kecewa ini bisa timbul dari “kesan pertama yang buruk” pada organisasi tersebut, diperlakukan seolah-olah “kuli” yang hanya bisa disuruh-suruh tanpa diberi kesempatan untuk tampil memimpin organisasi, disingkirkan atau tidak diterima kehadiran dan perannya dalam sebuah organisasi mahasiswa.
Kelesuan minat berorganisasi menjadi hal lumrah dari sejak awalnya ada lembaga kemahasiswaan. Tentunya kelesuan ini idak dapat dihadapi dengan cara-cara biasa, rutin, bahkan tergolong tidak sopan. Sikap bijak dan arif mesti dikedepankan bukan hanya memenuhi keinginan refleksi diri ke dalam gerakan mahasiswa, menarik minat mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan, dan menaklukkan jebakan verbalisme, tetapi lebih daripada itu, sikap tersebut benar-benar mengusung visi kerakyatan yang nyata di masyarakat.

selanjutnya...

Sinergi Mengelola Sampah Kota Denpasar

Kota Denpasar yang dahulu hanya sebagai wilayah karesidenan di bagian selatan Pulau Bali, kini telah berkembang menjadi kota besar. Apa yang menyebabkan Kota Denpasar dapat berkembang pesat hingga dapat dikatakan kota besar saat ini? Pertama, cikal bakal Kota Denpasar merupakan daerah penghubung daerah barat bagian selatan Pulau Bali dan daerah timur bagian selatan Pulau Bali. Sehingga Kota Denpasar letaknya strategis secara ekonomi. Kedua, laju urbanisasi yang meningkat pasca Puputan Badung, meningkat pada tahun 1970-an, dan tahun 1990-an. Ketiga, dua faktor di atas menjadikan Denpasar semakin banyak memiliki faktor pemikat, yang muncul dan dimunculkan terutama oleh praktek-praktek modernisasi (nasionalisasi) dalam berbagai aspek kehidupan. Pada akhirnya mendorong masyarakat di luar Denpasar menikmati bersama arus kehidupan modern, dengan dalih utama mengubah kehidupan untuk menjadi lebih baik (Nyoman Wijaya, 2001)
Setelah status Denpasar menjadi kota besar, akan lebih banyak masalah yang dihadapinya. Pertama, penataan ruang kota yang didesain untuk menghadapi modernisasi, bertambahnya penduduk, dan citra pariwisata Bali yang terkenal. Kedua, masalah kependudukan, baik urbanisasi maupun limpahan penduduk transmigrasi dari daerah lain beserta perangkat aturannya yang selalu menjadi masalah sosial utama kota besar. Ketiga, masalah lingkungan yang sering dihadapi seperti sampah, kualitas udara, sumber air yang layak untuk kehidupan, kebutuhan konsumsi bahan bakar, listrik dan pemukiman yang layak.
Diantara ketiga masalah besar yang dihadapi hampir sama di semua kota besar, yaitu sampah. Penanganan masalah sampah di kota besar merupakan masalah yang klasik sekaligus rumit. Kota besar yang dikatakan “berkelas” salah satunya kota yang mampu menangani sampah secara baik dan ramah terhadap lingkungan. Sebaliknya, kota yang dikatakan “gagal” adalah kota yang tidak bisa menangani sampah dan membiarkan sebagian ruang publiknya yang penting menjadi tempat sampah.
Seperti yang dialami Kota Bandung beberapa waktu lalu dimana sebagian ruang publiknya menjadi tempat sampah. Masalah sampah juga menjadi ujian apakah masyarakat yang menghasilkannya peduli akan lingkungannya sendiri. Masyarakat yang kreatif dan “berkelas” mampu mengelola, mengolah sampah agar tidak sampai pada tingkat mengganggu “penciuman” ruang publik atau pemandangan yang menjijikkan. Tanpa perlu menyalahkan pihak manapun, memang sudah menjdai tanggung jawab dan kesadaran tersendiri suatu masyarakat untuk mengelola sampah yang ramah lingkungan. Misalnya, mungkin hal yang remeh kita anggap untuk belajar memisahkan sampah organik dan sampah anorganik, karena pemisahan tersebut sangat penting untuk pengolahan dan pemanfaatan sampah pada tahap berikutnya.
Kota Denpasar tidak akan berubah keluasan wilayahnya, yaitu seluas 123,98 km2, tetapi penduduknya akan berubah terus dan cenderung untuk meningkat jumlahnya (DKP Kota Denpasar, 1995). Konsumsi penduduk dimungkinkan terus meningkat seiruing bertambahnya jumlah penduduk, artinya dimungkinkan puola volume dan keragaman sampah yang dihasilkan juga meningkat. Jika Kota Denpasar hanya mengandalkan kesadaran masyarakatnya sepenuhnya, mungkin suatu hal yang sulit terwujud. Maka tumpuan harapan terbesar untuk mengelola dan mengolah sampah hanya pada lembaga-lembaga pemerintah, lembaga swasta atau lemabaga kemasyarakatan yang peduli menangani sampah.
Persoalan menangani sampah di Kota Denpasar tidak hanya saol mengumnpulkan, mengangkut, memisahkan jenis sampah dan didaur ulang kembali, tetapi juga terus menerus menggugah kesadaran masyarakat yang sudah terlanjur sibuk dengan urusan ekonomi baik lewat dharma wacana, khutbah-khutbah, media massa, dan tokoh-tokoh masyarakat yang langsung terjun menangani sampah.Jika ingin Kota Denpasar kembali menjadi kota budaya, tetapi dengan bentuk yang disesuaikan dengan jamannya, maka seluruh komponen masyarakat Kota Denpasar harus bekerja sama, bekerja bersama-sama dalam menangani masalah sampah. Sinergi kesadaran masyarakat dan kerja keras di lapangan yang dilakukan lembaga yang peduli terhadap persoalan sampah memungkinkan Kota Denpasar menjadi kota budaya yang diinginkan semua pihak.

selanjutnya...