Selasa, 30 Oktober 2007

Jangan Anarkis, Kawan


Jika kami bunga,
engkau adalah tembok itu
tapi di tubuh tembok itu,
telah kami sebar biji-biji
suatu saat,
kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan:
engkau harus hancur!
(Wiji Thukul, Bunga dan Tembok)

Demikian sepenggal puisi yang disampaikan Wiji Thukul. Jelas tersirat dalam penggalan di atas rasa kekecewaan Wiji Thukul terhadap “tembok”. “Tembok” itu tak lain adalah kekuasaan-penguasa-berkuasa yang dirasa menguasai semuanya secara berlebihan. Dan tentang “biji yang disebar” adalah rasa kekecewaan yang ditanamkan dalam setiap benak sehingga terjadi penghancuran. Ilustrasi di atas, saya rasa, tepat untuk dijadikan penggambaran setiap Gerakan Mahasiswa (GM) di setiap jamannya. Berapa kali negara ini telah mengganti presidennya, minimal sejumlah itu pula keinginan yang ada pada benak di beberapa mahasiswa/kelompok mahasiswa untuk menjatuhkan kekuasaan- kata lain yang dapat saya sebut sebagai menghancurkan “tembok”.
Sebegitu perlukah setiap ada pemimpin bangsa ini untuk dijatuhkan? Mungkin perlu jika telah melewati batas. Tapi batas apakah yang bisa dijadikan pedoman sehingga harus mengatakan “tembok” tersebut harus dihancurkan? Hanya dari raportkah yang dibuat-buat sendiri, ditandatangani sendiri oleh kalangan mahasiswa yang merasa aspirasinya tidak diperhatikan? Atau berita di media massa? Mungkin saja. Tapi jangan anarkis, kawan. Anarkis dalam artian rusuh beneran. Atau anarkis yang akan saya sebutkan di bawah ini.

Penggunaan statistik
Kalangan GM kerap menggunakan data-data statistik sebagai “senjata” untuk menyampaikan pendapatnya. Tapi tak jarang pula tak hanya sekadar menyampaikan pendapat tapi mematahkan pendapat lain yang ada atau malah berusaha menumbangkan “senjata pihak lawan”. Tentu bukan senjata dalam arti sesungguhnya, karena mahasiswa bukan seorang kombatan. Ya, hanya dalam debatlah hal demikian terjadi.
Berdebat merupakan tempat pertempuran yang paling mengasyikkan bagi mahasiswa yang sering berdiskusi. Pengutipan-pengutipan dilakukan dari segala sumber yang diingat, dicatat, atau yang diterjemahkan dari orang lain. Tak hanya data kualitatif yang digunakan, data kuantitatif juga dijadikan dasar berpijak untuk mengesahkan pendapat. Namun sayang, kekurangan terbesar kalangan mahasiswa yang berhadapan dengan data statistik adalah sering mengutip data-data, mengambil sebagian data dan membuang atau menyembunyikan data lain, generalisasi yang dilakukan secara membabi buta, dan mungkin pula belum banyak yang mengetahui data tersebut dari mana, bagaimana cara memperolehnya, kesahihannya bagaimana, tingkat kesalahannya seberapa, dan sebagainya.
Dimungkinkan sekali kita yang terbiasa mengutip dari sumber sana-sini akan menjadi bintang debat masa depan, tapi kita justru akan terseok-seok ketika orang meminta pendapat kita, dengan berdasar data statistik yang kita buat sendiri sedang kita tak dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah. Padahal kita disebut oleh masyarakat adalah komunitas yang lekat dengan dunia intelektual.

[mungkin] hilangnya optimis
Terkadang saya membatin ketika melihat kawan-kawan saya yang mengadakan aksi turun ke jalan, apakah kita sebagian atau bahkan semuanya termasuk orang-orang yang tidak cerdas untuk bersyukur? Saya hanya melakukan aksi turun ke jalan satu kali dan saya tak merasakan apa-apa kecuali rasa lelah pada badan saya. Kita seolah mengetahui ada ketidakadilan di masyarakat, tapi adilkah kita terhadap diri kita sendiri dengan berani mengorbankan waktu kuliah untuk aksi turun ke jalan? Kita semua memiliki pandangan yang berbeda. Tetapi yang membedakan pandangan orang yang ikut atau tidak ikut dalam aksi turun ke jalan –sebagai salah satu tindakan yang paling populer menyuarakan pendapat di muka umum- ada dalam optimis.
Bagi saya, setiap hari jika dijejalkan rasa kekecewaan, kemuakan dengan kekuasaan, pesimis dengan berbagai masalah yang dihadapi masyarakat dan bangsa ini, saya yakin, di kemudian hari hanya kata-kata itu yang melengkapi masa depan GM yang kita wariskan. Sebagai contoh kekecewaan dengan kenaikan harga BBM, memang wajar, biaya hidup semakin tinggi, kebutuhan juga makin banyak yang tidak dapat ditunda, dapat disimpulkan secara sederhana hidup tambah susah. Tapi kekecewaan yang berlebihan, disertai kemuakan-kemuakan atas kondisi yang terjadi, bahkan pesimis bangsa ini akan menghadapinya dengan baik, justru membuat parah suasana. Ketidakpercayaan bangsa ini akan keluar dari krisis multidimensi apalagi ditambah aksi mogok makan, misalnya, tambah lebih parah kondisi badan kita. Bolehlah kita berteriak tentang kewajiban negara menyejahterakan rakyatnya, tapi apakah kita menyejahterakan diri kita dengan aksi mogok makan.
Kawan, tidak selamanya optimis adalah kata yang tabu bagi kalangan GM yang merasa Indonesia belum sejahtera setelah dihantam berbagai krisis. Mendramatisasikan pesimisme di dalam benak kita setiap waktu dimana saja hanya akan berbuah pada kekecewaan yang mendalam: bahwa Indonesia akan tetap sebagai negeri jajahan.

Berkatalah yang jujur
Penyampaian pendapat yang dilakukan oleh aktivis GM biasanya tak lebih dari: generalisasi, penggunaan majas (pertentangan, pengandaian, pertautan), penyimpulan dari beberapa premis yang acak, alur tertentu, slogan-slogan yang dapat membangkitkan semangat, memiliki latar yang umum menuju hal khusus, dan seruan-seruan. Tapi diantara kemampuan teknik kita untuk menyampaikan pendapat dengan perangkat-perangkat kebahasaan di atas, kerap kita masukkan satu perangkat yang mematikan: kita juga tidak berkata jujur.
Saya contohkan penggunaan data statistik sembarangan sekaligus pesimisme dan perkataan yang tidak jujur dilakukan hanya untuk melegitimasi sebuah aksi GM. “Kenapa kesembronoan para pengelola pemerintah harus ditimpakan akibatnya pada rakyat Indonesia yang sebagian besar (40%) hidup dibawah garis kemiskinan?” Benarkah pengutipan data ini? Dari manakah sumbernya, berapa tingkat kesalahannya, dikeluarkan oleh lembaga apa? Bagaimana jalan keluar dari masalah ini jika benar valid data itu? Periksalah kembali data itu, apakah memang demikian adanya (jumlah rakyat Indonesia keseluruhan dikali 40% sama dengan jumlah rakyat miskin).
Ketiga hal di atas –penggunaan data statistik yang sembarangan, hilangnya optimisme, dan pengungkapan yang tidak jujur- merupakan tindakan anarkis yang dapat saja dilakukan oleh setiap elemen GM. Mengapa saya katakan sebagai tindakan anarkis? Jawabannya sederhana: kita termasuk orang-orang yang tidak tahu diri. Patut dipertanyakan intelektualitas kita jika ketiga hal di atas kita kemukakan.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

fik gue denger loe nglatih tim olimpiade bulutangkis buat olimpiade beijing 2008 kok kalah terus untung ngggak malu maluin udah dapet emas satu biji kemarin salam dari kawan lamamu ---- erwin