Rabu, 24 Oktober 2007

Membedah Motif Kelesuan Organisasi Mahasiswa

...MahasiswaMahasiswa yang membenturkan dirinya pada gerakan kepedulian sosial semakin dituntut untuk terus berefleksi ke dalam. Hal ini kerap berguna melepaskan diri dari jebakan verbalisme. Tuntutan bersikap bijak dan arif dalam menjalankan visi kerakyatannya menjadi suatu keharusan bagi mahasiswa. Jangan meniru orang tua-orang tua penguasa yang menganggap dirinya semakin tua semakin bijak, padahal semakin tua semakin pikun.
(Roberto Hoetabarat dalam prolog buku Dicari Terus: Mahasiswa Merdeka karya I Ngurah Suryawan, Indie Pustaka, 2004)
Tantangan sekaligus harapan teruingkap jelas dalam prolog buku di atas. Tantangun untuk terus berefleksi ke dalam sehingga muncul sikap bijak dan aris disertai harapan untuk tidak meniru kepura-puraan merasa paling bijak diantara hubungan sosial yang terjalin selama ini. Bahkan belum cukup tantangan dan harapan, kecuali menjalankan visi kerakyatan. Visi kerakyatan benar-benar dijadikan satu-satunya viusi mahasiswa sebagai hasil refleksi ke dalam diri.
Untuk menjawab tantangan dan harapan di atas, mahasiswa mesti memiliki gerakan dan wadah gerakannya berupa lembaga kemahaiswaan. Menifestasi pemikiran gerakan itu terwujud dengan adanya berbagai macam lembaga kemahasiswaan baik intra kampus maupun ekstra kampus sekalian dengan corak gerakannya masing-masing. Di dalam kampus terdapat lembaga kesenatan, badan perwakilan, lembaga kemahaiswaan pengembangan minat-bakat, dan perwakilan jurusan-jurusan. Sedang di luar “pagar kampus” beragam lembaga kemahaiswaan yang mengusung beragam ideologi dalam keadaan “mengepung” kampus. Lembaga kemahasiswaan ekstra kampus lebih banyak memiliki landasan gerakan keagamaan, nasional, profesi, kedaerahan, dan gerakan “kekiri-kirian”.
Tidak dapat dihindarkan bahwa kehidupan lembaga kemahasiswaan mengalami dinamika. Pasang surunya lembaga kemahsiswaan tidak terlepas dari alih generasi yang berkesinambungan, berkembang atau surutnya kreativitas sebagai nilai bertahan hidup (survival value) dan pendanaan organisasi, kredibilitas dan rasa tanggung jawab sosial sebagai nilai pertumbuhan (growth value) sebuah lembaga kemahasiswaan. Selain itu, dinamika yang terjadi juga adanya sinergi atau kompetisi antara lembaga kemahaiswaan soal kedua nilai di atas. Misalnya, tarik-menarik rekrutmen anggota senat dan lembaga kemahaiswaan ekstra kampus atau pembagian wilayah “operasi” lembaga-lembaga kemahasiswaan.
Diagram venn lembaga mahasiswa dan mahasiswa
Terdapat tiga tipe mahaiswa yang memiliki kaitan erat dengan lembaga kemahaiswaan. Tiga tipe tersebut yaitu pegiat lembaga mahaiswa yang sering disebut aktivis mahaisiwa, partisipan, dan mahasiswa pasif yang tidak terjun menekuni lembaga kemahasiswaan. Munculnya tiga tipe ini didasarkan pada pemetaan keikutsertaan (aktivitas) beserta penilaian mahasiswa terhadap lembaga kemahasiswaan.
Sebuah diagram venn yang menggambarkan hubungan lembaga kemahaiswaan, mahaiswa, dan “daerah irisan” keduanya dalam semesta pembicaraan dunia kemahaiswaan. Terdapat tiga buah sisi fenomena di dalamnya, pertama di sisi mahasiswa kepentingan akademik dan lapangan pekerjaan menjadialasan kuat mahasiswa yang menyatakan lembaga kemahasiswaan tidak signifikan berpeangaruh dalam mencapai kepentingannya. Di sisi lain, lembaga kemahasiswaan kental dengan ruinitas kegiatannya, menuntut tanggung jawab sosial, dan sarat dengan berbagai ideologi yang berkembang di masyarakat. Sedang di daerah irisannya berupa motif mahasiswa yang mengikuti organisasi seperti adanya kepentingan bersama, terwujudnya relasi sosial yang luas, budaya keilmiahan yang terbangun di lembaga kemahasiswaan, pengaruh pergaulan di suatu lingkungan tertentu, bahkan sampai mahasiswa yang hanya ikut-ikutan organisasi agar terkesan intelek, tenar, ikut pacar, sekadar mencari pengalaman organisasi, dan sebagainya.
Motif mahasiswa pasif
Masalah klasik yang selalu dihadapi gerakan mahasiswa salah satunya krisi generasi atau sederhananya lembaga kemahasiswaan bukanlah tempat yang menarik bagi sebagian mahasiswa. Tipe mahasiswa pasif dalam gerakan mahasiswa memang menarik untuk dibahas sebagai bagian gerakan mahasiswa yang mengusung visi kerakyatan. Apa motif dibalik keengganan bahkan ketidakmauan sebagian kalangan mahasiswa mengambil bagian di kelembagaan mahasiswa? Dari diagram venn organisasi mahasiswa dan mahasiswa di atas terlihat adanya ketimpangan “apa yang harus diberikan” dan “apa yang diterima” jika seorang mahasiswa mengambil bagian dalam sebuah lembaga kemahasiswaan. Pertama, seorang mahasiswa enggan berkecimpung dalam lembaga kemahasiswaan karena tidak mau mengambil resiko. Resiko dalam keterlambatan akademik dapat dijadikan alasan kuat untuk menunda bahkan ketidakterlibatan dalam lembaga kemahasiswaan, sedang resiko ketidakbebasan untuk menikmati masa mahasiswa sebagai akibat tanggung jawab organisasi bisa menjadi alasan berikutnya.
Selain itu, bukan rahasia umum lagi, kadangkala suatu lembaga kemahasiswaan terjebak dalam rutinitas. Rutinitas kegiatan awalnya dimaknai dengan semangat namun kegiatan yang maknanya sama secara berulang-ulang menyebabkan kebosanan tidak dapat dilawan oleh individu mahasiswa yang ingin terus bergerak dalam berbagai aktivitas. Produk-produk lembaga kemahasiswaan berupa berbagai kegiatan pada dasarnya sarat dengan dinamika yang warna-warni, namun hal ini tentunya akan ditentang sebagian aktivitas mahasiswa yang ingin melestarikan tradisi secara absolut. Sebagai contoh orientasi penerimaan mahasiswa baru di beberapa fakultas biasanya diwarnai bentak-bentakan, dan segala macam bentuk penggemblengan fisik-mental secara terpadu dari tahun ke tahun. Rutinitas awal tahun akademik ini kadang membosankan untuk diikuti, karena tak ada perubahan ke arah pola pikir yang lebih bersifat akademis.
Ketiga, alasan-alasan pribadi mahasiswa yanng biasa dijadikan senjata untuk tidak terlibat dalam kegiatan lembaga mahasiswa. Alasan-alasan tersebut seperi rasa malas, tidak cocoknya ideologi organisasi mahasiswa dengan individu mahasiswa, tidak ada relasi (kenalan) di lembaga mahasiswa, teramat sibuk untuk mengejar indeks prstasi (IP) yang tinggi atau bekerja, atau bahkan tunduk pada keinginan orang tua untuk fokus pada kuliah saja. Bahkan tak jarang beberapa individu mahasiswa benar-benar tidak akan berkecimpung dalam dunia kemahasiswaan disebabkan rasa kecewa, termarginalkan oleh suatu lembaga kemahasiswaan. Rasa kecewa ini bisa timbul dari “kesan pertama yang buruk” pada organisasi tersebut, diperlakukan seolah-olah “kuli” yang hanya bisa disuruh-suruh tanpa diberi kesempatan untuk tampil memimpin organisasi, disingkirkan atau tidak diterima kehadiran dan perannya dalam sebuah organisasi mahasiswa.
Kelesuan minat berorganisasi menjadi hal lumrah dari sejak awalnya ada lembaga kemahasiswaan. Tentunya kelesuan ini idak dapat dihadapi dengan cara-cara biasa, rutin, bahkan tergolong tidak sopan. Sikap bijak dan arif mesti dikedepankan bukan hanya memenuhi keinginan refleksi diri ke dalam gerakan mahasiswa, menarik minat mahasiswa untuk terlibat dalam kegiatan kemahasiswaan, dan menaklukkan jebakan verbalisme, tetapi lebih daripada itu, sikap tersebut benar-benar mengusung visi kerakyatan yang nyata di masyarakat.

Tidak ada komentar: