Selasa, 30 Oktober 2007

Mahasiswa, Kembalilah ke Kampus


Setidaknya ada rasa bangga menjadi mahasiswa, selain rasa bahagia dapat menempuh pendidikan tinggi. Rasa bangga itu merupakan wujud sebuah profesi di tengah-tengah masyarakat, selain belajar, juga menjadi fungsi kontrol sosial. Ada kalanya kita (mahasiswa) duduk anteng di bangku kuliah mendengar penjelasan dosen, ada kalanya berdiskusi, ada kalanya ‘turun ke jalan’.
Ketika kekacauan politik mulai memuncak di medio 1966, mahasiswa mengambil peran bersama tentara (khususnya Angkatan Darat) melakukan perubahan besar dan mendasar mengatasi kekacauan politik. Perubahan kepemimpinan nasional yang baru setidaknya membuka peluang di kalangan mahasiswa untuk memasuki dunia politik. Namun sewindu kemudian gerakan mahasiswa itu kembali memuncak, dipicu ketidakpuasan terhadap jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara oleh penguasa Orde Baru. Akibatnya, di tahun-tahun berikutnya, gerakan mahasiswa teredam ‘suara’-nya, nyaris tak terdengar (Raillon, 1989).
Persis sama dengan momen peralihan kepemimpinan secara revolusioner yang terjadi tahun 1966, tahun 1998 adalah momen kedua gerakan mahasiswa setelah kegagalan Orde Baru mengatasi kesulitan keuangan negara, ekonomi, mental penyelenggara pemerintahan, dan tekanan internasional. Gerakan inipun, setidaknya didukung kalangan akademisi, sebagian politisi yang melihat ‘celah’ reformasi kepemimpinan nasional. Semenjak momen itu, aksi turun ke jalan menjadi agenda tetap, untuk memperingati, mengajukan protes sosial, eksistensi gerakan mahasiswa, mengagitasi masyarakat untuk mengamini gerakan mahasiswa: mencoba untuk selalu menghadirkan citra gerakan moral mahasiswa.

Intellectual masochism
Soe Hok Gie sempat menulis, begini intinya, mahasiswa kalau berkuasa akan menindas, kalau ditekan akan merintih. Suatu perilaku individualis, ingin selalu menang pendapatnya, tetapi menjadi pengecut, bernyali kecil di saat terjadi penekanan. Tidak perlu lagi untuk diperdebatkan apa pernyataan ini benar atau salah, berkelanjutan pada kurun waktu lama atau tidak. Kenapa? Karena pertanyaan dan jawaban salah atau benar, membudaya atau tidak, hanya bangunan gerbang dari sebuah masyarakat bernama mahasiswa. Itu hanya paradigma positivis, istilahnya. Pandangan tersebut seharusnya telah diubah oleh kalangan mahasiswa sendiri dari dalam dengan cara membangun jaring-jaring kehidupan organisasi, membangun keberhakan menyatakan pendapat sesuai dengan porsinya dan menghargai pendapat individu, sistem lembaga, pemimpin masing-masing organisasi dalam jejaring tersebut, menumbuhkan trust yang menyeluruh (bukan setengah-setengah) bersifat konstruktif tanpa ada prasangka buruk pada suatu sistem. Tapi pada kenyataannya, tidak semua bisa dilakukan.
Mahasiswa bisa saja mengadakan revolusi besar-besaran hingga mengubah tatanan kenegaraan, tetapi mahasiswa gagal menjadikan lingkungan pendidikannya sebagai suatu lahan mengabdikan ilmunya bagi diri, keluarga, masyarakat sekitar. Yang ada hanya keluhan-keluhan atas keadaan yang tidak menguntungkan. Meski keluhan-keluhan itu juga sebagian berasal dari suara wong cilik, sekonstruktif apapun, tak urung cuma keluhan untuk mendapatkan kepuasan yang aneh: suatu tindakan intellectual masochism.

Mental kuli
Tindakan cuma mengeluh di atas, menyeret mahasiswa pada ketidakberdayaan gerakan mahasiswa keseluruhan. Tindakan ini bukan mencoreng atau menjatuhkan martabat gerakan mahasiswa. Tapi justru lebih parah, melumpuhkan jati diri, bagi yang mengatakannya agent of change. Bagi mahasiswa yang tidak merasa agent of change, tentunya tenang-tenang saja (istilahnya adalah K3: kuliah, kos, dan kampung halaman). Agent of change itu sebuah ikon jati diri yang kita refleksikan lewat bahasa dan kekuatan. Namanya saja agen perubahan, bisa saja menjadi agen inisiasi, mediasi, dan atau terminasi suatu perubahan. Hanya saja, gerakan mahasiswa sampai pada inisiasi dengan mediasi yang setengah-setengah. Lalu kekuatan terminasinya justru diabaikan. Terminasinya seringkali berada dalam keadaan wrong time and wrong place, salah tempat dan salah waktu. Terminasinya bukan lagi berada di gedung MPR/DPR, bukan lagi di jalanan, bukan lagi ada di pertemuan-pertemuan mahasiswa, tetapi ada di setiap ruang kuliah, laboratorium, perpustakaan.
Kenapa disana? Karena disanalah kita memulai segalanya sebagai gerakan mahasiswa. Bagaimana kita bisa berdemo dengan segala macam tuntutan mengatasnamakan gerakan mahasiswa, bahkan mengatasnamakan rakyat, tanpa memperoleh predikat mahasiswa? Justru inilah yang terkadang diabaikan, seperti gajah di depan mata tak tampak, kuman di seberang lautan tampak.
Salah satu terminasi reformasi atau revolusi yang dilakukan gerakan mahasiswa adalah perbaikan mutu ajaran dan didikan di bangku kuliah. Agar nantinya tidak menjadi individu bermental kuli yang pernah dikatakan Bung Karno; kita memang dididik dengan pengetahuan yang luar biasa, tapi sayang menjadi bangsa-bangsa kuli atau kuli diantara bangsa-bangsa. Sederhananya, iklim intelektual yang aktif harus tercipta dibangku kuliah sebagai bentuk suatu sistem pendidikan yang dinamis. Sayang, mahasiswa kadang lebih suka gosip daripada melakukan penelitian.

Sikap aproporsional
Kenapa gerakan mahasiswa sekarang tidak begitu “laku di pasaran nasional”? Harus diakui, gerakan mahasiswa kini terjebak pada persoalan pragmatis dan kelemahannya untuk mengorganisasikan dirinya menghadapi masa transisi. Terkadang pula sikap gerakan mahasiswa menjadi aproporsional sehingga melumpuhkan ikon gerakan perubahan. Contoh yang nyata adalah penyerbuan polisi ke dalam Kampus UMI. Semestinya gerakan kekerasan polisi dapat dicegah jika kedua pihak memiliki itikad baik untuk sama-sama menyatakan pendapat, terlebih mahasiswa yang senantiasa mengusung gerakan moral. Hal yang sama juga terjadi ketika segerombolan orang tak jelas identitasnya ‘menyerbu’ gerakan mahasiswa di kampus Universitas Udayana beberapa waktu lalu. Picu masalah selalu terletak pada Orde Baru, warisan ideologi, para kroni, dan kerja-kerjanya.
Sikap aproporional mahasiswa menyikapi rezim otoriter Orde Baru justru menjebak gerakan mahasiswa masuk pada masalah pragmatis dan tidak mampu mengorganisasikan gerakannya sendiri, akibatnya gerakan menjadi lemah. Timbullah kerapkali kata-kata, “Gimana, sih, mahasiswa? Keadaan yang sudah lumayan tenang, masih saja demo?” Benar-benar sebuah bumerang gerakan intelektual. Sikap sok tahu, sok pahlawan reformasi, sikap arogan gerakan mahasiswa harus dihentikan. Memulainya dari bangku kuliah dengan menyatakan gerakan mahasiswa adalah agent of change menjadi leader of change.
Sebagai penutup, penggalan karya Soe Hok Gie dalam bukunya Zaman Peralihan, menjadi penting untuk direnungi terutama bagi aktivis mahasiswa. Di dalamnya berkatalah Sjahrir: “...Pemoeda kita itoe oemoemnja hanja mempoenjai ketjakapan oentoek mendjadi serdadoe, jaitoe berbaris, menerima perintah menjerang, menjerboe dan berdjibakoe dan tidak pernah diadjar memimpin.”

Tidak ada komentar: